Monday, 16 July 2018

Hamengkubuwono I. Pendiri Kesultanan Jogja


Pada hari yang sama 11 Desember 1749 Sunan Paku Buwana II yang sudah sakit parah menandatangani dan menyegel akta penyerahan yang didalamnya berisi penyerahan seluruh Kerajaan Mataram kepada Belanda yang diwakili oleh Gubernur pantai Timur Laut , bekas Komandan Garnisun Surakarta J.A. Baron von Hohendorff.

Pada tanggal 15 Desember 1749 , Putra Mahkota Kasunanan Surakarta dinobatkan sebagai raja baru Kasunanan Surakarta oleh von Hohendorff dengan sebutan Susuhunan Paku Buwana III. Di dalam Babad Giyanti disebutkan secara ringkas bahwa Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia di Batavia menobatkan Susuhunan yang baru di Surakarta. Putra Mahkota mengakui bahwa dia menjadi raja bukan akibat hak keturunan, melainkan karena Kompeni Hindia Timur Belanda memilih dia untuk jabatan itu. Menuruti anjuran Gubernur, Susuhunan baru itu dan para pejabat keraton kemudian memberi penghormatan terakhir kepada Paku Buwana II yang sudah sangat payah, yang akhirnya wafat pada tanggal 20 Desember 1749 dan dimakamkan di Laweyan, Surakarta.

Apabila di Surakarta berlangsung penobatan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwana III, di lain pihak peperangan prajurit Kabanaran atau prajurit Mangkubumen berlangsung sengit. melawan tentara Belanda. Prajurit Mangkubumen semakin bertambah dengan banyaknya bupati mancanagara yang bergabung , tercatat tokoh-tokoh seperti Raden Rangga Prawirasentika, Tumenggung Yudanagara, Tumenggung Alap-alap dan lain sebagainya yang menjadi momok bagi prajurit Belanda. Sampai timbul semacam pemeo bahwa siapa yang unggul dalam peperangan Ungaran yang terkenal dengan ontran-ontran beteng Ungaran, maka merekalah yang unggul dalam perang Mangkubumen ini. Dan kenyataan terjadi, benteng Ungaran dapat dibedah Pangeran Mangkubumi beserta prajuritnya, bahkan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff luika parah dan dilain waktu akhirnya meninggal.

Peperangan lain yang tiak kalah serunya terjadi di desa Jenar (menurut sumber Belanda di Bagawanta). Tentara Belanda di bawah komando Mayor Clereq berhadapan dengan prajurit Mangkubumen. Dalam peperangan sengit ini sampai menjelang malam sehingga harus terthenti, Banyak korban dikua belah pihak. Pihak Belanda yang tewas Mayor Repot, Katen Hoetje dan prajurit Mangkubumen yang gugur T. Mangunnagara. Kedua belah pihak juga banyak menawan musuh termasuk para wanita. Hal inilah yang mnyebabkan prihatinnya P. Mangkubumi, sehingga pada keesokan harinya sebelum melanjutkan peperangan beliau mengumpulkan para saudara dan punggawa dan prajurit untuk membicarakan strategi perang dan membebaskan prajurit yang tertawan termasuk para wanita. Setelah semua lengkap, kemudian P. Mangkubumi berkata : " Kanda B.P.H Hadiwijaya serta para Pangeran, saya mendengar berita bahwa perang kemarin para parepot banyak yang tertawan musuh. Jika demikian bagaimana usaha kita agar dapat merebut mereka kembali ?".

B.P.H Hadiwijaya menjawab : Adinda, kakanda dan para pangeran hanya menurut apa yang menjadi kehendak adinda".
P. Mangkubumi kemudian menanyakan kepada para abdi dalem semua : "Abdiku semua, bagaimana saran kalian semua tentang para parepot yang tertawan musuh tadi ? Apabila tidak bisa direbut pada perang hari ini juga, saya merasa sangat nistha, sebab wanita itu titah yang harus diluhurkan !:.
Semua yang hadir setelah mendengar sabda P. Mangkubumi tersebut sangat takut. Akan membantah tidak berani , kalau menyanggupi merasa tidak mampu. Akhirnya mereka berkata bersama : "Gusti junjungan kami, apabila ada perintah dari Gusti, hamba semua tinggal melaksanakan"
Setelah P. Mangkubumi mendapat jawaban semua yang hadir seperti itu kemudian bicara dalam hati : "Apa jadinya nanti apabila semua hanya menurut apa yang menjadi kehendak saya. Jika demikian apabila saya belum bisa menyatukan (njumbuhake) Kawula dan Gusti, serta tetap mantap apa yang menjadi kehendak saya, pasti tidak akan terlaksana".
Akhirnya P. Mangkubumi bersabda : " Kanda B.P.H Hadiwijaya serta semua saja yang hadir, hantarkan saya untuk merebut para parepot, yaitu saudara saya dan juga saudara dari semua yang hadir disini. Jika nanti saya belum gugur di medan perang, semua jangan sampai ikut-ikut!".
Setelah semua yang hadir mendengar sabda Kanjeng Susuhunan (P. Mangkubumi) seperti itu lantas tergugah semangatnya, kemudian semua berkata : " Sebelum kami semua gugur, jangan sampai paduka Kanjeng Susuhunan bertindak sendiri untuk merebut parepot !".
Berkata demikian bersamaan mereka menarik semua keris mereka dari warangkanya seraya berkata : :O, junjungan kami, apakah kami sudah diijinkan berangkat sekarang , sebab apabila kelamaan tidak akan baik akibatnya:.
P. Mangkubumi menjawab : " Sabar dulu Kanda B.P.H Hadiwijaya serta semuanya, sarungkan dulu kerisnya!".
Setelah semua menyarungkan kerisnya, P. Mangkubumi bersabda : "Kanda B.P.H Hadiwijaya, apabila nanti ada salah satu pangeran atau para punggawa yang kembali karena takut terhadap musuh, jangan sampai tanya dosanya, pasti akan saya bunuh sendiri!".
Semua yang hadir menjawah serentak : "Silahkan Gusti".
P. Mangkubumi kemudian memerintahkan membuat gelar perang Garudha Nglayang (Dalam sumber lain menyebut gelar perang yang dipakai adalah Supit Urang).
Pasukan Mangkubumen bertemu dengan pasukan pimpinan Mayor Clereq. Peperangan serupun terjadi. Lama kelamaan Mayor Clereq kehabisan pasukan, sebab banyak yang tewas maupun terluka, atau lari meninggalkan senapatinya. Setelah Mayor Clereq hanya tinggal sendiri, abdi dalem Mantrijero bernama Wiradigda menombak, tetapi sayang hanya kena pundak yang dilapis baju besi. Mayor Clereq setelah pedangnya jatuh, segera menarik pistol, namun bersamaan dengan prajurit Mantrijero bernama Prawirarana menusuk leher Mayor Clereq. Mayor Clereq jatuh terlentang, diinjak oleh Prawirarana kemudian disembelih. Dengan gugurnya Mayor Clereq semua pasukannya lari tunggang langgang.

Peristiwa gugurnya Mayor Clereq ini terjadi pada hari Minggu Legi, 22 Sura tahun Jimawal 1677 J atau tanggal 12 Desember 1751 M. Adapun abdidalem Prawirarana yang berhasil membunuh Mayor Clereq oleh P. Mangkubumi dinaikkan pangkatnya menjadi bupati dengan nama T. Kartanadi (nantinya menjadi Bupati Grobogan dengan nama T. Sasranagara). Sedangkan tombak yang digunakan untuk membunuh Mayor Clereq nantinya dijadikan tombak pusaka kraton dengan nama Kanjeng Kyai Clereq.
Selanjutnya pasukan Mangkubumen menyerang Pekalongan pada hari Sabtu Pon tanggal 1 Jumadilawal tahun Jimawal 1677 J atau 20 Maret 1752. Dalam peperangan ini banyak pasukan musuh yang menyerah dan menyatakan bergabung dengan P. Mangkubumi, yakni Kapten Juwana orang Bugis, lengkap dengan prajurit Bugis, Galengsong dan Kraeng Daheng dari Terate dan Ujung Pandang. Para prajurit inilah yang nanti menjadi Korps Prajurit Kraton Yogyakarta.

Demikianlah peperangan demi peperangan terus berlangsung yang membawa banyak korban di kedua belah pihak. Di pihak Belanda tercatat nama Letnan Koen yang tewas dalam perang di Gawong, Dalam pertempuran di Juwana Residen Van Goens tewas, Letnan Van Gier tewas dalam perang di Grobogan, Letnan Foster tewas di pertempuran Gunung Tidar, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff luka parah pada ontran-ontran beteng Ungaran yang akhirnya juga tewas, Mayor Clereq dan Kapten Winter tewas dalam peperangan di Jenar (Bagawanta), dan prajurit Belanda yang tewas 3801 prajurit.
Melihat kenyataan ini, kemudian Belanda menggunakan politik de vide et impera (politik memecah belah). Melalui T. Sujanapura, Baron von Hohendorff berhasil menghasut R.M Said (P.H. Mangkunagara), dengan kemungkinan R.M. Said akan disingkirkan setelah P. Mangkubumi menang, sehingga menimbulkan rasa curiga R.M kepada P. Mangkubumi, paman sekaligus ayah mertua R.M. Said sendiri. R.M. Said terkena hasutan dan memisahkan diri dari pasukan Mangkubumen dan bergabung dengan pasukan Baron von Hohendorff memusuhi P. Mangkubumi. Dengan pisahnya R.M. Said dengan pengikutnya, maka kekuatan pasukan P. Mangkubumi tinggal 60 %. P. Mangkubumi yang sudah hampir mencapai kemenangan atas VOC, kini harus menghadapi VOC yang didukung pasukan dari Kasunanan Surakarta dan R. M Said (P.H. Mangkunagara)
Melihat peperangan yang tidak menguntungkan Belanda, maka Gubernur Jenderal Yacob Moesel meminta diadakan perdamaian dengan P. Mangkubumi melalui Sarib Besar Syekh Ibrahim dari Turki sebagai juru bahasa dan juru runding dari pihak Belanda bersama Nicolaas Hartingh.

1 comment:

  1. sumber nya dari mana ya?kok tidak dicantumkan. trims

    ReplyDelete