Sumber:
http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/sejarah-kawitane-wong-jawa-lan-wong-kanung/
1. Pegunungan Kendheng Selatan
Adalah terletak mulai dari timur Kabuh, Kabupaten Jombang, memanjang kebujur hingga Kabupaten Masaran, Sragen.
Karena menang gempa prakempa Lawu sembilan ribu tahun yang lalu, membuat gunung Watujago direbut omblah-omblah membujur kebarat; kemudian menjadi Lembah Ngawi untuk mengalirkannya ke Bengawan Sala nrabas berbelok di sebelah utara Cepu.
Sebelum ada gempa bumi yang dahsyat, gunung Watujago palu jauh Pegunungan Masaran dihuni manusia yang masih jauh, berbentuk seperti monyet-rangutan makanan pada hewan seperti: katak, kadal, ular, cacing, jangkrik, belalang, dan buah-makan: mulwa, gula apel , jambu mete, cincang halus, nanas, dan lainnya.
Kebutuhan mereka sudah tercukupi untuk bertahan di tempat tinggal mereka. Tempat tidur di sarang di cabang pohon besar atau tinggi, namun tidak sulit tidur di dalam gua; karena dihuni oleh harimau. Dan kompilasi mereka telah mati, mereka bangkainya beserakan di sepanjang sungai; tulang berserakan di bengawan Solo yaitu daerah nyangrah di mbereman Gemolong, Kalijambe, Sragen, Murugan dan lumpur dan batu berbaris Bengawan Solo, ngandong mbereman, Ngawi.
Orang-orang pulau memiliki budaya, mereka menyebut mereka Legena. Ada juga yang bernama Gandaruwo. Ada lagi yang disebut Kethek Limuri.
2. Pegunungan Kendheng Utara
Pegunungan .Northwestern Utara (Utara .Northwestern) sekitar lima ribu tahun yang lalu telah diselesaikan mereka lebih maju dari lege, mereka telah mampu gegaweyan. Nusa Kendheng adalah tiga kapal terakhir di pulau Lodhan dan Segara; di sisi timur Telok Lodhan dan Segara Kening. Di sisi selatan Selat Kendheng-Selatan yang bengkok dan Laut Teluk. Sisi barat Laut Serang trluk ditambal di Laut Muria. Sisi utara Teluk Juwana dan Laut Jawa Lautnya kasar. Gunung Murya masih gunung berapi tinggi, ditangani oleh laut.
Nusa Kendheng tidak memiliki tanah di mana lembah memiliki titik air basah; Gunung-gunung penuh dengan jurang; Di beberapa bagian, ada gua berbentuk gua yang hanya tebaba satu sisi. Di Nusa. Barat laut tidak ada vegetasi, beras juwawud, itu hanya ada jalinthing, kait, dan jagung-katak tumbuh di lelowah yang ngembes; Buahnya adalah makanan monyet, kuda, dan lembu jantan. Di hutan itu berpohon lebat, Jati trenggulun, sawo kecik, mete, klethuk, dan mulwa.
Pantai-pantai yang diperbarui pohon kelapa: kukuh, bogor (tal), jambe. Pesisir, yang terdiri dari berbagai tetumbuhab, rembulung, bongaow, dan braya yang lebat dan padat. Di bukit-bukit lebat tinggi rumput kalanjana dihuni koloni banteng. Banteng betina disebut Jawi. yang sangat menyayangi anak-anak banteng. di waktu malam Jawi jawi itu membentuk lingkaran membelakangi para anak banteng. Sementara Banteng jantan meronda memindahkan wilayahnya dari hewan pemangsa.
Artikel terkait: Sandal Misterius jaman Jawa Prasejarah
Pada saat itu, Pegunungan Kendheng dihuni oleh penduduk pribumi. Tubuhnya kecil kecil dan pendek, berkulit warna tembaga, Kehidupannya sangat sederhana, tetapi dia tperadabannya cukup maju. Pekerjaan Tatabudaya; pakaiannya memakai cawat dari kulit kayu waru yang di parut dan di anyam, atau kulit hewan yang memarkan sampai lemas. tinggal dalam koloni di dalam goa goa padas. berteman dengan anjing pemburu bersama anak rusa yang sudah jinak itut tinggal di goa tersevut.
Anak-anak kecil dengan anjing sering bercanda pada saat mereka tidak benar digigit, mereka hanya menghabiskan waktu mereka. Hidup mereka bengkok, malu, mengejek, dan bergoyang-goyang. Senjata payal seperti, panah, bedhor, dibuat dari batu-jae kempling mlingir. Ketika mencari anjing makanan tentu saja melibatkan kekinthil atau sesanderan jejigar dikejar hewan buronan, juga kadang-kadang mengambil nyelog ndukiri palapendhem alasan. Makanan dibawa kembali ke tempat yang hancur, kering dan kering menjadi kotor; Kemudian mereka makan setiap hari dan anjing-anjing datang dan makan bersama. Api yang didapat dari tumbuh pohon disamber petir, cabang api kering karena gesekan dengan cabang lain dari tiga-com. Api dipecahkan setiap malam di sekitar gua; Jika malam diciptakan menciptakan binatang yang sulit yang akan sulit datang ke gua; Spesies hewan yang dipesona hancur oleh kusta di jalanan. Jika bulan adalah terang dari mereka menyenangkan di luar gua, menari dan gegandhangan dan tepuk tangan dan anyul-anyul mencuci mulut sebagai pil, pilar atau kayu ngglonthong ditumbuk dibuat instrumen. Orang-orang nyata di era JAMAJUJA yang berhasil masih disebut suku Lingga.
Penduduk Sampit Kalimantan Selatan dilanda wabah penyakit “blarutan” yang menyerang pencernaan. Mereka menyeberang ke pulau jawa dan mendirikan kampung yang dipimpin Ki Sendang yang juga dari sampit, dan putrinya Ni Rahki. Tempat itu sekarang disebut lasem (Pantura Jatim, berbatasan dengan jateng).
Pendatang dari sampit ini gemar mengunyah buah pinang, dan bersahabat dengan ikan pesut atau sejenis hiu (lodan) kecil. Buat di daerah itu ada teluk lodan .. mereka juga mengagumi banteng betina jadi mereka tidak mau makan banteng. Mereka menganut kepercayaan Whuning (Kanung). Ajaran Kanung ini Dibawa oleh Nabi Djo So No sekitar tahun 1000 SM.
Pada th 230 SM Ki Sendang diwisuda jadi Datu Tanjung Putri. Dan menyetujui kalender jawa Whuning Sebagai tahun 1. dan membuat arca Ki Sendang dari batu hitam jumlah orang dewasa.
30 tahun kemudian pemerintahannya diserahkan pada Ni Rahki dan diselesaikan lelesi. 75 tahun kemudian terjadi hubungan dengan Suku Jawa Sampung yang warisannya lebih maju yang ahli dalam pengolahan segala macam logam. Mereka bahkan adayang saling kawin campur antara jawa Whuning dan Jawa Sampung.
Tahun 1 Masehi gunung Argapura meletus. Pada th 100 M, putri Tanjung kembali ramai dipimpin oleh Datu Hang Tsuwan di kota Bejagung (Hang Tuban).
Tahun 110 M terjadi Gempa besar. Tahun 115 Datu Hang Tsuwan mendeklarasikan Negara Jawa Dwipa, dengan bersatunya Jawa Whuning dan Pegon Jawa, setelah terjadi kawin campur antara dua suku tersebut.
Tahun 387 M Datu Hang Sambadra mendirikan perguruan filsafat Kanung di gunung Tapa'an, Rembang.
Situs Liyangan Temanggung setelah diuji karbon berasal dari tahun 300 Masehi.
Di taun Masehi: 390, Dhatu Hang Sam Bandra membuat pelabuhan dan galangan-kapal (= dhak-palwa) ke Sunglon Bugel atau Gunung Bugel (Bekasnya sekarang menjadi ladang dan kali disebut Palwadhak; selatan desa Tulis, Kecamatan Lasem). perahu-kapal itu sebagai penghubung Pemerintahan Pucangsula dengan Banjar-banjar wilayanya seurutan Pesisir Jawa (Pantura), mulai banjar-Losari teluk-Tanjung (Kabupaten Brebes), ketimur hingga banjar-Rabwan (Kabupaten Batang) dan Banjar-Tugu (Kabupaten Semarang), kemudian banjar Purwata dan banjar-Tanjungmaja (Kabupaten Kudus), tepian pulau Maura sebelah timur yaitu banjar-Tayu dan banjar-Blengon (Kecamatan Kelet, Kabupaten Jepara). Plabuan Pucangsula bertempat di sebelah timur galangan kapal yang dibuatkan Gapura menghadap kebarat menghadap Laut-teluk Kendheng (sekarang menjadi desa Gepura) dari gapura di luar yang dibuatkan di lereng gunung Argasoka di pusat kota Pucangsula.
Tahun 396 Putri Hang Sam Badra yaitu Sri Datsu Dewi Sibah menikah dengan pelaut dari Keling / Kalingga (Bangsa Cholamandala dari negeri Coromandel) India, yaitu Rsi Agastya Kumbayani, yang juga merupakan penyebar agama Hindu. dan lahirlah Arya Asvendra anak mereka. Mulai saat itu terjadi percampuran orang Jawa Dwipa dan orang Keling.
Di taun: 412 Masehi ada Pengelana Sramana Agama Buddha bernama: Pha Hie Yen (Fa Hian) berlayar dari Nalandha India, berniat kembali pulang ke Tsang-An (Tiongkok); tiba-tiba lagi ke atas Jawa-Dwipa ada angin topan besar, kapalnya kemudian mangkal ke pelabuhan Pucangsula. Sramana Hwesio Pha Hie Yen diterima mengabdi oleh Dhatu Hang Sam Badra, setiap hari diajak wawancara bab rupa-rupa pengalamanya Sang Hwesio olehnya berkelana ke manca-negara. Dhatu Menggantung Sam Badra dengan adiknya Pandhita Menggantung Jana Bandra sangat suka mencocokkan intisarinya ajaran Sang Buddha yang bercampur-luluh dengan laras Kearifan Jawa-Hwuning.
Di taun Masehi: 415, Dhatu Hang Sambadra menyiapkan jabatan, Pucangsula menerima Dewi Sibah diwisudha ditetepkan menjadi Dattsu-agung (= Prabu-putri). Rsi Agastya menjadi Kepala banjar Rabwan (Roban) dan banjar Batur hingga Pegunungan Dieng, kebawah negara Pucangsula.
Sedang adiknya Dewi Sibah bernama: Dewi Sie Mah Ha (= Simah), yang menjadi Adipati-anom Medhangkamulaan teluk Lusi (kabupaten Blora) diwisudha diangkat menjadi Dattsu, dipindah ke banjae-gede Blengoh diambil Keraton keling / Kalingga.
Orang-orang yang tidak menjadi tani, diprentahkan bekerja mengumpulkan belerang dari lereng kawah Dieng; belerangnya sebagai pedagangan negara Baturretna diganjolkan barang-barang petukangan dan kain sutra dengan Pedagang dari negara Cina, melalui plabuhan banjar Rabwan. Negara Baturretna bersama menjadi besar dan makmur, Dhatu Rsi Agastya kemudian mrentahkan tukang-tukang ahli pahat batu orang-orang dari Endrya-Satvamayu, diutus membuat Candhi banyak sekali; setiap candhi Ada patung Shiwa Bathara Guru; menghubungkan candhi ke bumi punggur Gunung Dieng. Dan dinamakan Pasraman-agung Endrya pra-Astha.
Tahun 436. Terjadi perang antara Baturretna dan Keling memperebutkan pertambangang Belerang, dinamakan Perang saudara Endriya pra Astha, dalam perang itu Rsi Agatsya perang, dan keling menang.
tahun Masehi: 450, Gunung Dieng meletus, tahun 470, Gunung Ungaran meletus, taun Masehi: 471, Gunung Maura (Murya) meletus. Bumi Argasoka menjadi hutan belantara.
Taun Masehi: 620, bumi di sana sudah dihuni orang berkelana dari negara Keling Dattsu Dewi Simah, orang Pegunungan Ngargapura, dan orang Pegunungan Sukalila. ada pemuda gegedhug AL Keling yang masih Trah-darah ke musuh dari Hang Sabura / Dewi Simah, bernamane: Hang Anggana; Miliknya orang mengundang orang-orang Pelaut negara Keling dan Petani pokol yang berkelana tersebut, dijatung hutan pejaten membuat desa dan pelabuhan yang tepian nggenggeng disebut wajah seni-rupa, bersama-sama telah menjadi desa disebut: Getas-Pejaten, plabuhane disebut: Tanjungkarang.
Di Taun Masehi: 645, sebab dari setelah makmur banjar Getaspejaten, Dhatu Hang Anggana kemudian mengembangkan tempat itu mekar keutara dan menyediakan pusat kota memakai nama yang disebut Rananggana (Rana + Anggana = Hang Anggana bandhol paprangan). Sekarang disebut kota: Kudus
Sabab dari ekspor kayu jati glondongan, kapas Randu dan minyak kelapa ekonomi bertumbuh dan banyak orang-orang kaya baru. Melawan Orang-orang kaya, pembesar dan kaum kelas atas di Rananggana yang mulai terpikat Seni Budaya dan agama Hindu dari Chola; masuknya Kabul Budaya ke negara Rananggana menggeser Tata Budibudaya suci Jawa-Hwuning yang dianggep remeh dan rendah. Karena kalah gebyar, Tokoh-pengbesar dan orang muda-kota yang berumur 18 tahun kebawah selamat gagah menggunakkan Budayanya orang Cholamandala / Coromandel; lebih-lebih para Wanitanyapun ikut-ikutan. ”
Dhatu Hang Anggana, tidak seperti para pedagang kaya yang menganut Hindu Syiwa, juga ikut berpartisipasi dalam Agama-Hindu tetapi bukan Hindu Shiwa, mengaku beragama Hindhu-Kanung. Maka wujudnya Pamujan utawa Puranya tidak melibatkan corak Hindhu Chola atau Hindhu Dieng, ia membuat Pamujan Lembu-Nandhi duduk di Altar melambangkan kekuatan Rakyatnya, serta Lingga-Yoni wujud Lumpang-Alu besar, melambangkan: Hang Anggana Dhatu Agung yang berbakti pada moyang juga Dhanhyang Leluhurnya.
Sumber:
http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/sejarah-kawitane-wong-jawa-lan-wong-kanung/
Pengetahuan baru buat saya...
ReplyDelete