Wednesday, 9 December 2009

SEJARAH-JAWA

Pada Th 1000 SM sebelum lahirnya para pemikir cina seperti :1 Laow Tze Tao, 2. Hud Tze Buddha, 3. Kong Tze Khonghucu , Bangsa Chow dari Hainan bermigrasi ke selatan sampai ke Kalimantan dan menjadi suku-suku Dayak yang nama sukunya berdasarkan nama sungai tempat mereka tinggal termasuk Suku Sampit.

Penduduk Sampit Kalimantan Selatan dilanda wabah penyakit “blarutan” yang menyerang pencernaan. Mereka menyeberang ke pulau jawa dan mendirikan kampung yang dipimpin Ki Sendang yang juga dari sampit, dan putrinya Ni Rahki. Tempat itu sekarang disebut lasem (Pantura Jatim, berbatasan dengan jateng).

Pendatang dari sampit ini gemar mengunyah buah pinang, dan bersahabat dengan ikan pesut atau sejenis hiu (lodan) kecil. Sehingga di daerah itu ada teluk lodan.. mereka juga mengagumi banteng betina sehingga mereka tidak mau makan banteng. Mereka menganut kepercayaan Whuning (Kanung). Ajaran Kanung ini Dibawa oleh Nabi Djo So No sekitar tahun 1000 SM.

Pada th 230 SM Ki Sendang diwisuda jadi Datu Tanjung Putri. Dan menetapkan kalender jawa Whuning Sebagai tahun 1. dan membuat arca Ki Sendang dari batu hitam sebesar orang dewasa.

30 tahun kemudian pemerintahannya diserahkan pada Ni Rahki dan suaminya Hang lelesi. 75 tahun kemudian terjadi hubungan dengan Suku Jawa Sampung yang kebudayaannya lebih maju yang ahli dalam pengolahan bermacam-macam logam. Mereka bahkan adayang saling kawin campur antara jawa Whuning dan Jawa Sampung.

Tahun 1 Masehi gunung Argapura meletus. Pada th 100 M, Tanjung putri kembali ramai dipimpin oleh Datu Hang Tsuwan di kota Bejagung (Hang Tuban).

Tahun 110 M terjadi Gempa besar. Tahun 115 Datu Hang Tsuwan mendeklarasikan Negara Jawa Dwipa, dengan bersatunya Jawa Whuning dan Jawa Pegon, setelah terjadi kawin campur antara dua suku tersebut.

Tahun 387 M Datu Hang Sambadra mendirikan perguruan filsafat Kanung(Whuning) di gunung Tapa’an , Rembang.

Di taun Masehi: 390, Dhatu Hang Sam Bandra membuat plabuhan dan galangan-kapal (=dhak-palwa) ke Sunglon Bugel atau Gunung Bugel (Bekasnya sekarang menjadi ladang dan kali disebut Palwadhak; selatan desa Tulis, Kecamatan Lasem). perahu-kapal itu sebagai penghubung Pemerintahan Pucangsula dengan Banjar-banjar wilayanya seurutan pesisir Jawa (Pantura), mulai banjar-Losari teluk-Tanjung (Kabupaten Brebes), ketimur hingga banjar-Rabwan (Kabupaten Batang) dan Banjar-Tugu (Kabupaten Semarang), kemudian banjar Purwata dan banjar-Tanjungmaja (Kabupaten Kudus), tepian pulau Maura sebelah timur yaitu banjar-Tayu dan banjar-Blengon (Kecamatan Kelet, Kabupaten Jepara). Plabuan Pucangsula bertempat di timur galangan kapal dibuatkan Gapura menghadap kebarat menghadap Laut-teluk Kendheng (Sekarang menjadi desa Gepura) dari gapura disana dibuatkan jalanan sepanjang lereng Pegunungan Argasoka hingga pusat kota Pucangsula.

Tahun 396 Putri Hang Sam Badra yaitu Sri Datsu Dewi Sibah menikah dengan pelaut dari Keling/Kalingga(Bangsa Cholamandala dari negeri Coromandel) India, yaitu Rsi Agastya Kumbayani, yang juga adalah penyebar agama Hindu. dan lahirlah Arya Asvendra anak mereka. Mulai saat itu terjadi percampuran orang Jawa Dwipa dan orang Keling.

Di taun: 412 Masehi ada Pengelana Sramana Agama Buddha bernama: Pha Hie Yen(Fa Hian)berlayar dari Nalandha India, berniat kembali pulang ke Tsang-An (Tiongkok); tiba-tiba lagi hingga laut Jawa-Dwipa ada angin topan besar, kapalnya kemudian mangkal ke pelabuhan Pucangsula. Sramana Hwesio Pha Hie Yen diterima mengabdi oleh Dhatu Hang Sam Badra, setiap hari diajak wawancara bab rupa-rupa pengalamanya Sang Hwesio olehnya berkelana ke manca-negara. Dhatu Hang Sam Badra dengan adiknya Pandhita Hang Jana Bandra sepakat sangat mencocokkan intisarinya ajarannya Sang Buddha itu bercampur-luluh dengan laras Kearifan Jawa-Hwuning.

Di taun Masehi: 415, Dhatu Hang Sambadra meletakkan jabatan, pemerintahan Pucangsula diserahkan Dewi Sibah diwisudha ditetepkan menjadi Dattsu-agung (=Prabu-putri). Rsi Agastya menjadi Kepala banjar Rabwan(Roban) dan banjar Batur hingga Pegunungan Dieng, kebawah negara Pucangsula.
Sedang adiknya Dewi Sibah bernama: Dewi Sie Mah Ha (=Simah), yang menjadi Adipati-anom Medhangkamulaan teluk Lusi (kabupaten Blora) diwisudha diangkat menjadi Dattsu, dipindah ke banjae-gede Blengoh dijadikan Keraton keling/Kalingga.

Orang-orang yang tidak menjadi tani, diprentahkan bekerja ngumpulkan belerang dari lereng kawah Dieng; belerangnya sebagai pedagangan negara Baturretna diganjolkan barang-barang petukangan dan kain sutra dengan Pedagang dari negara China, melalui plabuhan banjar Rabwan. Negara Baturretna bersama menjadi besar dan makmur, Dhatu Rsi Agastya kemudian mrentahkan tukang-tukang ahli pahat batu orang-orang dari Endrya-Satvamayu, diutus membuat Candhi banyak sekali; setiap candhi terdapat patung Shiwa Bathara Guru; letaknya candhi ke bumi punggur Gunung Dieng. Dan dinamakan Pasraman-agung Endrya pra-Astha.

Tahun 436. Terjadi perang antara Baturretna dan Keling memperebutkan pertambangang Belerang, dinamakan Perang saudara Endriya pra Astha, dalam perang itu Rsi Agatsya gugur, dan pihak keling menang.

tahun Masehi: 450, Gunung Dieng meletus, tahun 470, Gunung Ungaran meletus, taun Masehi: 471, Gunung Maura (Murya) meletus. Bumi Argasoka menjadi hutan belantara.

Taun Masehi: 620, bumi disana itu sudah dihuni orang berkelana dari negara Keling Dattsu Dewi Simah, orang Pegunungan Ngargapura, dan orang Pegunungan Sukalila. ada pemuda gegedhug A.L. Keling yang masih Trah-darah turun ke enem dari Hang Sabura/ Dewi Simah, bernamane: Hang Anggana; miliknya mengajak orang-orang Pelaut negara Keling dan Petani pokol yang berkelana tersebut, dijak membuka hutan pejaten membuat desa dan plabuhan yang tepian nggenggeng disebutgkitri rupa-rupa, bersama sudah menjadi desa disebut: Getas-Pejaten, plabuhane disebut: Tanjungkarang.

Di taun Masehi: 645, sebab dari setelah makmur banjar Getaspejaten, Dhatu Hang Anggana kemudian mengembangkan tempat itu mekar keutara serta menyediakan pusat kota memakai bernamane dirinya disebut Rananggana (Rana + Anggana = Hang Anggana bandhol paprangan). Sekarang disebut kota: Kudus

Sabab dari ekspor kayu jati glondongan, kapas Randu dan minyak kelapa ekonomi bertumbuh dan banyak orang-orang kaya baru. Akibatnya Orang-orang kaya, pembesar dan kaum kelas atas di Rananggana itu mulai terpikat meniru Seni Budaya dan agama Hindu dari Chola; masuknya Kabudayaan Chola ke negara Rananggana menggeser Tata Budibudaya suci Jawa-Hwuning yang dianggep remeh dan rendah. Karena kalah gebyar, Tokoh-pengbesar dan orang Muda-kota yang umur 18 taun kebawah merasa gagah menggunakkan Budayanya orang Cholamandala/Coromandel; lebih-lebih para Wanitanyapun ikut-ikutan.” tetapi rakyat kecil di pedesaan, tidak terpengaruh Kabudayan luar negeri yang seperti tersebut.

Dhatu Hang Anggana , tidak seperti para pedagang kaya yang menganut Hindu Syiwa, Beliau juga mengikuti ikut masuk Agama-Hindu tetapi bukan Hindu Shiwa, dirinya beragama Hindhu-Kanung. Maka wujudnya Pamujan utawa Puranya tidak meniru corak Hindhu Chola atau Hindhu Dieng, dirinya membuat Pamujan Lembu-Nandhi duduk di Altar melambangkan Kekuatan Rakyatnya, serta Lingga-Yoni wujud Lumpang-Alu besar sangat, melambangkan: Hang Anggana Dhatu Agung yang berbakti pada nenek moyang serta Dhanhyang Leluhurnya.


Sumber:
http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/sejarah-kawitane-wong-jawa-lan-wong-kanung/

1. KERAJAAN KALINGGA (670 M)
DHATU HANG ANGGANA (632-648M)
KARTIKEYASINGA (648-674 M)
RATU SHIMA (674 – 703)
Ratu Sima adalah isteri Kartikeyasinga yang menjadi raja Kalingga antara tahun 648 sampai dengan 674 M. Ayahanda Kartikeyasinga adalah Raja Kalingga , yang memerintah antara tahun 632 sampai dengan 648. Sementara itu ibunda Kartikeyasinga berasal dari Kerajaan Melayu Sribuja yang beribukota di Palembang. Raja Melayu Sribuja – yang dikalahkan Sriwijaya tahun 683 M - adalah kakak dari ibunda Prabu Kartikeyasinga Raja Kalingga .
Kerajaan Kalingga adalah kerajaan bercorak Hindu. Pusat pemerintahan diperkirakan di wilayah Kabupaten Jepara saat ini. Berdiri pada sekitar abad ke-6, dan pernah diperintahkan oleh Ratu Shima.

Parwati anak Ratu Shima, menikah dengan Sanaha (709 - 716 M), , raja ke 2 dari Kerajaan Galuh. mereka berputri Sanna /Sannaha (710 – 717) yang menikah dengan raja ke 3 dari Kerajaan Galuh, yaitu BRATASENAWA. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama SANJAYA yang sempat menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732M).

KERAJAAN KANJURUHAN(tahun 682 Saka / tahun 760 M)
Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut :
•Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha
•Setelah Raja meninggal digantikan oleh puteranya yang bernama Sang Liswa
•Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga Istana besar bernama Kanjuruhan
•Sang Liswa memiliki puteri yang disebut sebagai Sang Uttiyana
•Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketentraman diseluruh negeri
•Raja dan rakyatnya mengidolakan kepada Rsi Agastya.
•Bersama Raja dan para pembesar negeri memohon Sang Maharesi Agastya menghilangkan penyakit.
•Raja melihat Arca Rsi Agastya dari kayu Cendana milik nenek moyangnya
•Maka raja memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam yang elok


SANJAYA (717 – 746)
Setelah Maharani Shima mangkat di tahun 732M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan KALINGGA UTARA yang kemudian disebut BUMI MATARAM, dan kemudian mendirikan Dinasti / Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.

Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari TEJAKENCANA, yaitu TAMPERAN BARMAWIJAYA alias RAKEYAN PANARABAN.

2. KERAJAAN SAILENDRA /MATARAM BUDHA (750-850 M.)
Santanu (...-...) pendiri Klan Sailendra, Istrinya bernama Bhadrawati
Dapunta Syailendra (...-674)
Rakai Panangkaran (750-782), pendiri Kerajaan Sailendra
Istana berbenteng Kerajaan Sailendra yang beragama Budha ini petilasannya masih bisa kita lihat di Kraton Boko, Kalasan, Yogyakarta.

Kerajaan Sailendra di Jawa Tengah bertakhta raja Dinasti Sailendra. Selama masa kekuasaannya (750-850 M.) candi Budha terkemuka, Borobudur, didirikan. Di tahun 772 M. rumah ibadat Budha lainnya juga dibangunkan, tercakup di sini candi Mendut, tahun 778 ia membangun Candi Kalasan . Semua tempat pemujaan ini dipelihara sebagai obyek turis berdekatan dengan kota Yogyakarta. Kerajaan Sailendra juga diketahui untuk kekuasaan komersial dan bahar, dan kesenian dan kebudayaan yang kian berkembang. Penuntunan penyanian gugus, dikenal Candra Ca’ana pertama-tama disusun pada tahun 778 M..

Rakai Panunggalan atau Dharanindra (782)
Rakai Warak atau Samaragrawira (800)
Rakai Garung alias Samaratungga (850)

Wangsa Sailendra adalah kerajaan Budha yang berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an.

Setelah ditaklukkan oleh Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu, sang Putri Mahkota (Pramodawardhan) dinikahi oleh Pangeran Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya. Sedangkan adik Pramodawardhani yaitu Pangeran Balaputradewa melarikan diri ke Sriwijaya yang sama-sama beragama Budha.

3. KERAJAAN MEDANG I BHUMI MATARAM / MATARAM HINDU (732M)

Sanjaya (732M), pendiri Kerajaan Medang yang beragama Hindu,
Maharani Shima memiliki cucu yang bernama SANAHA, memiliki anak yang bernama SANJAYA .
Sanjaya menggantikan Maharani Shima dan menjadi raja Kerajaan KALINGGA UTARA yang kemudian disebut MEDANG I BUMI MATARAM

Rakai Panangkaran/Dyah Pancapana (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770)

Antara tahun 770-850 M Dinasti Sanjaya menjadi jajahan Dinasti Sailendra.

Rakai Pikatan (840-656) , Setelah sekian lama menjadi jajahan Sailendra, maka Rakai Pikatan Menaklukkan Sailendra dan mendirikan Candi Hindu, Prambanan sebagai monumen kemenangannya. Kemudian menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra . Ia kemudian memindahkan istananya ke Mamrati.
Raja berikutnya:

Rakai Kayuwangi atau Dyah Lokapala (856 – 880)
Rakai Watuhumalang (880-899)
Rakai Watukura Dyah Balitung (899–911)
Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali.

Mpu Daksa (913–919)
Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena perebutan kekuasaan oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, Dyah Tulodhong.

Rakai Layang Dyah Tulodong (919–924)
Tulodhong sendiri akhirnya turun tahta karena kekuasaannya direbut oleh Dyah Wawa.

Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (928–929)
Ada beberapa sebab kenapa ibukota Medang pindah ke Jawa Timur. Yang paling banyak diyakini adalah karena kawasan ibukota lama di sekitar Yogyakarta amat rawan bencana. Gunung Merapi pernah meletus dengan hebat sehingga istana kerajaan hancur.

4. KERAJAAN WANGSA ISANA (929M)

Sri Isana Wikramadharmottungga(Mpu Sindok) (929 – 947), Wangsa Isana, saat pusat kekuasaan Medang berada di Jawa Timur

Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya (947-989)
Makuthawangsawardhana (989-991)

Dharmawangsa Teguh (991-1006),
Pada tahun 1006 (atau 1016) saat Dharmawangsa tengah imengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram. Aji Wurawari adalah sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas

5. KERAJAAN KAHURIPAN (1009-1042 M)

Airlangga (1009-1042)
Airlangga adalah putera Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh) dan Udayana raja Bali. Bersama pengawalnya, Narotama, Airlangga mengungsi ke hutan dan pegunungan. Di sana ia hidup sebagai pertapa, lalu mendirikan Kerajaan Kahuripan dan menjadi Raja Tahun 1009.

Tahun 1017 M, Rajendra Chola, Raja Coromandel di India menyerang Sriwijaya.
Setelah Kerajaan Sriwijaya melemah di tahun 1025 karena serangan
Kerajaan Chola dari India, banyak bangsawan Sriwijaya yang melarikan diri
ke pedalaman, terutama ke hulu sungai Batang Hari.
Kerajaan Melayu Jambi(Dharmasraya), menaklukan dan meruntuhkan Kerajaan Sriwijaya. Keluarga kerajaan Sriwijaya Melarikan diri ke Kahuripan.

Tahun 1030 M, Airlangga menikahi putri dari Raja Sangrama Wijayatunggawarman, Raja Sriwijaya.

sumber: http://books.google.co.id/books?id=Ii4_gLKFsMYC&pg=PA18&dq=airlangga++putri+sriwijaya&hl=jv&sa=X&ei=ekwSVPiQJsvkuQTowIHICw&redir_esc=y#v=onepage&q=airlangga%20%20putri%20sriwijaya&f=false

Pada akhir pemerintahannya, Airlangga mulai memikirkan ahli waris penerus kerajaan. Seharusnya, yang berhak pertamakali naik tahta adalah putrinya, Sanggramawijaya Tunggadewi. Namun sang putri tidak menginginkan tahta kerajaan. Ia memilih hidup sebagai pertapa.

Selain Sanggramawijaya Tunggadewi, ia memiliki dua putra: Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Akhirnya, pada November 1042, Airlangga membagi kerajaan itu menjadi dua: Kadiri dan Janggala.

6. JANGGALA DAN KADIRI (1042M)

Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya. Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan.

Setelah membagi dua kerajaannya, Airlangga kembali ke hutan pegunungan. Ia menjalani kehidupan pertapa hingga akhir hayatnya pada tahun 1049.

Raja-raja Jenggala:
• Mapanji Garasakan, (1044)
• Alanjung Ahyes, (1052).
• Samarotsaha, (1059).

Raja-Raja Kadiri:
• Sri Samarawijaya (1042-1120)
• Sri Jayawarsa (1120-1182)
• Sri Kameswara (1182-1194), memiliki permaisuri dari Janggala bernama Kirana(Dewi Candrakirana). Kisah mereka terekam dalam Naskah cerita Panji dalam wayang beber dan cerita-cerita panji.

• Sri Jayabhaya(1135-1157)
Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.

Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakimpoi Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.

Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakimpoi Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakimpoi Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.

Dalam Buku Pararaton dikisahkan:"seorang Biksu aliran Mahayana, bertapa di Panawijen, bernama Mpu Purwa. Ia mempunyai seorang anak perempuan luar biasa cantik bernama Ken Dedes. Ken Dedes dilarikan oleh Seorang Akuwu di Tumapel bernama Tunggul Ametung. Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak menjumpai anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; maka Mpu Purwa mengutuk Akuwu Tunggul Ametung. Selanjutnya dikisahkan Akuwu dibunuh Ken Arok dan diambil istrinya, dan Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel".

Prabu Kertajaya (1157-1222), Dalam Pararaton Kertajaya juga tidak disukai kaum biksu , yang kemudian para Biksu meminta perlindungan Ken Angrok penguasa daerah di Tumapel.

7. SINGASARI (1222M)

Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra / Ken Angrok (1222-1247 M)
Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh secara licik oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru. Tidak hanya itu, Ken Arok bahkan berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.

Pada tahun 1222 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum biksu. Para biksu lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.

Kerajaan Singasari ini beragama resmi campuran Shiwa-budha. Nagarakretagama pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok lebih dulu menggunakan julukan Bhatara Siwa.

Raja-raja Tumapel/Sigasari versi Pararaton :
1. Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222 - 1247)
2. Anusapati (1247 - 1249)
3. Tohjaya (1249 - 1250)
4. Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250 - 1272)
5. Kertanagara (1272 - 1292)

Raja-raja Tumapel/Sigasari versi Nagarakretagama :
1. Rangga Rajasa Sang Girinathaputra (1222 - 1227)
2. Anusapati (1227 - 1248)
3. Wisnuwardhana (1248 - 1254)
4. Kertanagara (1254 - 1292)

Raja-raja Tumapel/Sigasari versi prasasti Mula Malurung :
Kerajaan Tumapel didirikan oleh Rajasa alias Bhatara Siwa setelah menaklukkan Kadiri. Sepeninggalnya, kerajaan terpecah menjadi dua, Tumapel dipimpin Anusapati sedangkan Kadiri dipimpin Bhatara Parameswara (alias Mahisa Wonga Teleng). Parameswara digantikan oleh Guningbhaya, kemudian Tohjaya. Sementara itu, Anusapati digantikan oleh Seminingrat yang bergelar Wisnuwardhana.Prasasti Mula Malurung menyebutkan bahwa sepeninggal Tohjaya, Kerajaan Tumapel dan Kadiri dipersatukan kembali oleh Seminingrat. Kadiri kemudian menjadi kerajaan bawahan yang dipimpin oleh putranya, yaitu Kertanagara. Kertanagara menjadi raja muda di Kadiri dahulu. Baru pada tahun 1268, ia bertakhta di Singhasari.

Pararaton dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan Narasingamurti. Dalam Pararaton disebutkan nama asli Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.

Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1268 - 1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa.

Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan pulau Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol. Pulau Sumatra adalah Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Prasasti Padangroco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Raja Kertanagara dari Kerajaan Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di kota Dharmasraya.Raja Mauliwarmadhewa ,yang Permaisurinya bernama Puti Reno Mandi, memiliki dua putri yang cantik jelita, yaitu Dara
Jingga dan Dara Petak yang menjadi hadiah kepada Raja Jawa tetapi sesampai di Jawa, penguasa Jawa adalah Raden Wijaya Menantu Raja Kertanegara.

Pada tahun 1284, Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara.

Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang/kediri, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanagara sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh

Jayakatwang, adipati Kadiri, Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongolia tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongolia untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik mengusir sekutu Mongolnya dan mendirikan negara Majapahit.

8. MAJAPAHIT (1293-1500 M)

Raden Wijaya Pendiri Majapahit adalah putra Dyah Lembu Tal, anak Mahisa Campaka (Narasingamurti), Putra Anusapati, Putra Ken Arok.

Jayanegara, adalah penguasa yang jahat dan amoral. Ia digelari Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tantja. Ibu tirinya, Gayatri Rajapatni, seharusnya menggantikannya, tetapi Rajapatni pensiun dari istana dan menjadi biksuni.

Tribhuwana Wijayatunggadewi, putri Gayatri Rajapatni menjadi ratu Majapahit. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di daerah tersebut. Tribhuwana menguasai Majapahit sampai tahun 1350.

Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya, Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Dibawah perintah Gajah Mada (1313–1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang,[2] menyebabkan runtuhnya kerajana Sriwijaya. Jendral terkenal Gajah Mada lainnya adalah Adityawarman, yang terkenal karena penaklukannya di Minangkabau. Menurut Kakimpoi Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina.

Raja-raja Majapahit:
1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Suhita (1429 - 1447)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8. Rajasawardhana Sang Sinagara, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478), Raja Majapahit terakhir.

Prabu Kertabumi punya 3 putra dan putri yang terkenal dan keturunannya :
1. Ratu Pembayun/Nyai Ranawijaya -> Kebo Kenanga -> Jaka Tingkir(Sultan Hadiwijaya/Pajang)
2. Pangeran Jimbun/Raden Patah (Sultan Syah Alam Akbar/Demak) -> Raja-raja Demak
3. Pangeran Bondan Kejawan/Lembu Peteng -> Getas Pendawa -> Ki Ageng Selo -> Ki ageng Nis -> Pemanahan -> Danang Sutowijoyo -> Raja-raja Mataram Islam

Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan pernah terjadi peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit.
Prasasti Petak: "kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit"(“kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang naik-jatuh berperang melawan Majapahit”)

Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah kalahnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.

9. KERAJAAN DAHA/KADIRI/KELING (1478–1498 M)

Bhre Keling Girindrawardhana Dyah Ranawijaya / Handayaningrat , bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498) ,

Setelah menaklukkan Majapahit kemudian menikahi Ratna Pembayun Putri Brawijaya V.
Babad Sengkala mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Penyerbuan Sultan Trenggano ini dilakukan karena Kediri mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka seperti yang dilaporkan Tome Pires.

Penyerbuan itu di pimpin Sunan Gunung Jati. setelah takluk Bhre Keling Girindrawardhana Dyah Ranawijaya Handayaningrat (Adipati Keling), menghamba pada Sunan Gunung jati dan keturunan para pengikutnya sampai sekarang menjadi Jurukunci Makam Sunan Gunung Jati di Cerebon.
Sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2010/09/05/blog-entry“ikatan-warga-keraman”-penjaga-makam-sunan-gunungjati/

http://wongtrusmi.blogspot.com/2010/01/makam-sunan-gunung-jati.html

Ada Juga Putra-Putra Adipati Keling yaitu Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga, beserta keluarga kerajaan Keling/Daha melarikan diri ke Pengging.

10. KERAJAAN PENGGING (1498-1518 M)

Prabhu Hudhara / Kebo Kenanga, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
Kebo Kenanga Masuk Islam aliran Syech Siti Jenar, Sedangkan Kebo Kanigara tidak suka dengan kepercayaan Syech Siti Jenar dan tetap memeluk Hindu, Kebo Kanigara memutuskan berpisah dan bertapa di hutan.

Ki Ageng Pengging / Kebo Kenanga, yang masih berusia 21 tahun, sangat muda, menawarkan daerah Pengging sebagai pesantren Syeh Siti Jenar.

Tahun 1497 Masehi, Sunan Giri, atas nama Pemimpin Dewan Wali Sanga, memerintahkan Sultan Demak dan Sultan Cirebon, yang tak lain Sunan Gunungjati, untuk menumpas ajaran Syeh Siti Jenar dan keluarga Pengging.

Mas Karebet/Jaka Tingkir, Putra Ki Ageng Pengging diasuh Nyi Ageng Tingkir, kemudian di asuh Kakak Nyi Ageng Tingkir yang bernama Ki Ganjur yang menjabat Lurah Kaum ( Kepala pengurus masjid Istana Demak Bintoro). Jaka Tingkir kemudian terdaftar menjadi Prajurut. Karirnya melejit dari prajurit biasa, menjadi "Lurah Wiratamtama", sampai menjadi Sultan di Pajang.

11. DEMAK (1478 M)

Raden Patah atau Panembahan Jimbun atau Sultan Syah Alam Akbar, yaitu yang disebut Sultan Demak Pertama, adalah Putra Brawijaya V

Pati Unus juga disebut Pangeran Sabrang Lor. Dia putra Raden Patah atau Panembahan Jimbun. Tahun 1511 , menguasai Jepara, pada tahun 1513 menyerang Malaka. Persiapan yang dilakukan dalam rangka penyerangan tersebut membutuhkan waktu tujuh tahun. Dan bisa mengumpulkan kapal hingga sembilan puluh dan 12 ribu prajurit, juga meriam yang sangat banyak. Akan tetapi perlawanan Portugis sangat sengit, hingga dipaksa mundur pulang tanpa hasil.
pada tahun 1518 juga mengalahkan Daha, pusaka kerajaan dibawa ke Demak .

Sultan Trenggana (Tahun 1521 - 1550) Kerajaan Demak sangat berkuasa sekali, Menguasai tanah Jawa Barat, kota-kota di pesisir utara dan juga merebut jajahan majapahit, serta kerajaan Supit Urang (Tumapel) juga menjadi diperintah oleh Demak. Sementara Blambangan itu milik Bali.

Sunan Prawoto, 1546, naik takhta, tapi kemudian tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Kalinyamat, menantu Sultan Trenggana yang menjadi bupati Jepara.

12. PAJANG (1547 M)

Sultan Adiwijaya/Mas Karebet/Jaka Tingkir (1549 -1588 M)

Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Ratu Kalinyamat menyerahkan takhta Demak kepada Adiwijaya. Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Adiwijaya/Jaka Tingkir sebagai sultan pertama.

Asal usul: Mas Karebet/Jaka Tingkir bin Prabu Hudara/Kebo kenanga/Raja Pengging, bin Girindrawardana/Raja Daha. Jaka Tingkir Semula mengabdi ke ibu kota Demak dan diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama tapi kemudian dipecat karena membunuh calon prajurit bernama Danungawuk dalam ujian masuk prajurit.
Jaka Tingkir kemudian melanjutkan pendidikan di pesantren Ki Ageng Banyubiru (saudara seperguruan ayahnya). Setelah lulus, Jaka Tingkir diangkat menjadi bupati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana.

Adiwijaya mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan Mataram sebagai hadiah. Sayembara dimenangi Danang Sutawijaya, cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga menewaskan Arya Penangsang di tepi Bengawan Sore.

13. MATARAM (1588 M)

Danang Sutawijaya bergelar Panembahan Senapati, bin Ki ageng Pemanahan, bin Ki ageng Nis, bin Ki Ageng Selo, bin Ki Getas Pendawa, bin Pangeran Bondan Kejawan, bin Brawijaya V.

Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap ke Pajang dan dianggap tidak setia.
Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Sultan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan, Dan Sultan Adiwijaya jatuh dari gajah.

1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.
1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.

14. KARTASURA (1680 M)

1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.
1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta III yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.

15. YOGYAKARTA DAN SURAKARTA (1755 M)

1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Bagelen dan Pantai Utara dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Bagelen secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.




Sunday, 6 December 2009

SEJARAH-SUNDA

1. SALAKANAGARA (130 M - 362 M)

Rajatapura atau Salakanagara (kota Perak), yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Sekarang wilayah Banten, Cihunjuran, Citaman, Pulosari dan Ujung Kulon
-/+100 M RAJA AJI TIREM LUHUR MULYA (AKI TIREM)

RAJA AJI TIREM LUHUR MULYA(Aki Tirem bin Ki Srengga bin Nyai Sariti Warawiri binti Sang Aki Bajulpakel(di Swarnabumi selatan) bin Aki Dungkul bin Ki Pawang Sawer bin Datuk Pawang Marga(di Swarnabumi Utara) bin Ki Bagang bin Datuk Waling bin Datuk Banda (di Langkasuka) bin Nesan .).

di kawasan sekitar Selat Sunda, yaitu di wilayah Banten ,. Kapal-kapal perang dan perampok bajak-laut Cina dan India itu dihancurkan oleh angkatan bersenjata kerajaan Salaka atas perintah Raja Aki Tirem atau Aji Tirem Luhur Mulya.
Dalam catatan negeri Cina diberitakan: adanya negeri dan raja Ye Tiao dan Tiao Pien (= Aji Tirem dan negeri Tirem); Ko Ying (= kota-perak = Salakanagara); Teluk Weh (weh = teluk atau perairan = way = Teluk atau Selat Sunda sekarang); Pu Lei (=pulau merapi = gunung Krakatau sekarang).
Kemudian pada tahun 130 M. Raja Salaka Aki Tirem mengirimkan utusan dagangnya ke negeri Cina.
Beliau juga mengangkat menantu Pangeran dari Pallawa/Bharata(India) yaitu Dewawarman untuk menikah dengan Dewi Pwahaci Larasati , Putri Prabu Aji Tirem Luhur Mulya. Untuk lebih kuat menghadapi para Bajak Laut.
130-168 M DEWAWARMAN I PRABU DARMALOKAPALA AJI RAKSA GAPURA SAGARA berasal dari Bharata (India)
168-195 M DEWAWARMAN II PRABU DIGWIJAYAKASA DEWAWARMANPUTRA Putera tertua Dewawarman I
195-238 M DEWAWARMAN III PRABU SINGASAGARA BIMAYASAWIRYA Putera Dewawarman II
Jaman Akhir Dinasti Han Th.206 SM – 220 M.Kapal-kapal perang dan perampok bajak-laut Cina dan India datang menjarah dan merampok ke negeri Salaka
238-252 M DEWAWARMAN IV Menantu Dewawarman II, Raja Ujung Kulon
252-276 M DEWAWARMAN V MENANTU Dewawarman IV
195-238 M DEWAWARMAN III PRABU SINGASAGARA BIMAYASAWIRYA
276-289 M MAHISASURAMARDINI WARMANDEWI Puteri tertua Dewawarman IV & isteri Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur melawan bajak laut,
289-308 M DEWAWARMAN VI SANG MOKTENG SAMUDERA Putera tertua Dewawarman V
308-340 M DEWAWARMAN VII PRABU BIMA DIGWIJAYA SATYAGANAPATI Putera tertua Dewawarman VI
340-348 M SPHATIKARNAWA WARMANDEWI Puteri sulung Dewawarman VII
348-362 M DEWAWARMAN VIII PRABU DARMAWIRYA DEWAWARMAN Cucu Dewawarman VI yang menikahi Sphatikarnawa, raja terakhir Salakanagara
Mulai 362 M DEWAWARMAN IX Salakanagara telah menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara

Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah bawahan Tarumanegara.

2. TARUMANEGARA (358 M)

1. Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Magada

Kerajaan Taruma didirikan Rajadirajaguru Jayasingawarman dalam tahun 358 M. Ia wafat tahun 382 dan dipusarakan di tepi kali Gomati (Bekasi).

2. Dharmayawarman (382 - 395 M) yang setelah wafat dipusarakan di tepi kali Candrabaga.

3. Purnawarman (395 - 434 M) adalah raja Tarumanagara yang ketiga ). Ia membangun ibukota kerajaan baru dalam tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai dan dinamainya "Sundapura".
 Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.

4 Wisnuwarman 434-455
5 Indrawarman 455-515

Pustaka Jawadwipa, parwa I, sarga 1 (halaman 80 dan 81) memberikan keterangan bahwa dalam masa pemerintahan

6. Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M.

7. Suryawarman (535 - 561 M)
8. Kertawarman 561-628
9. Sudhawarman 628-639
10. Hariwangsawarman 639-640
11. Nagajayawarman 640-666

12. Linggawarman 666-669, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya.

3. KERAJAAN GALUH (612 M)

Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh Manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih berkembang ketika cicit Manikmaya (Wretikandayun)mendirikan Kerajaan Galuh dalam tahun 612 M.

Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). diganti Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh ketiga. Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu: Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Citarum sebagai batas.

Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya. Persahabatan dengan Bratasenawa ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya.

Bratasenawa digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerjaan di daerah Cirebon sekarang. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Gurusempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak

Sebenarnya Purbasora dan Bratasenawa adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena

Sanjaya, anak Bratasenawa, berniat menuntut balas terhadap keluarga Pubasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.

Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang, bersama segelintir pasukan.

Sebagai ahli waris Kalingga, Sanjaya kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara (Jawa Tengah) yang disebut Bumi Mataram dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, Tamperan atau Rakeyan Panaraban (732 - 739 M). Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.

Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.

Penyerbuan ke Galuh dilakukan sianghari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.

Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Medang yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh.Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Rajaresi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga.

Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton, tahta Galuh jatuh kepada keturunan Banga, yaitu Rakeyan Wuwus yang beristrikan puteri keturunan Galuh.

Sebaliknya adik perempuan Rakeyan Wuwus menikah dengan putera Galuh yang kemudian menggantikan kedudukan iparnya sebagai Raja Sunda IX dengan gelar Prabu Darmaraksa Buana(891 - 895)

4. KERAJAAN SUNDA (669 M)

Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa

Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, di daerah pedalaman dekat hulu Cipakancilan. Dalam cerita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakalbakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.

 1. Maharaja Tarusbawa (669 - 723 M)
2. Sanjaya Harisdarma, cucu-menantu no. 1,(723-732 M).
3. Tamperan Barmawijaya (732-739 M).
4. Rakeyan Banga (739-766 M).
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M).
6. Prabu Gilingwesi, menantu no. 5,(783-795 M).
7. Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6, (795-819 M).
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M).
9. Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 - 895 M).
10.Windusakti Prabu Dewageng (895 - 913 M).
11.Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M).
12.Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu no. 11, (916-942 M).
13.Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M).
14.Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M).
15.Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).
16.Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989 M).
17.Prabu Brajawisesa (989-1012 M).
18.Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M).
19.Prabu Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M). di Galuh
20.Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030 M - 1042 M ) di Pakuan
21. Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya,
22. Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya,
23. Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya,
24. Prabhu Dharmakusuma (1156-1175)

5.KERAJAAN GALUH PAKUAN

Prabu Guru Darmasiksa (1175 - 1297) Putra Prabhu Dharmakusuma, mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan oleh Puteranya, Prabu Ragasuci

Prabu Ragasuci (1297 - 1303), berkedudukan di Saunggalah

Prabu Darmasiksa Sanghyang Wisnu (1175 - 1297) memerintah pakuan berputera Rakeyan Jayadarma dan Ragasuci.putera mahkota dijabat Rakeyan Jayadarma.

Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk Prabu Ragasuci (1297-1303).
.ia tetap memilih Saunggalah sebagai pusat pemerintahan karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya Prabu Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, (1303 - 1311), sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.

Prabu Lingga Dewata(1311-1333), putera Cit
raganda, mungkin berkedudukan di Kawali.

Yang pasti, menantunya, Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340) sudah berkedudukan di Kawali dan sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa disebut bahwa tahun 1333-1482 adalah Jaman Kawali dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal lima orang raja

Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)

. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa yang gugur di medan Bubat dalam tahun 1357.

Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana Ketika terjadi Pasunda Bubat, usia Wastu Kancana baru 9 tahun dan ia adalah satu-satunya ahli waris kerajaan yang hidup karena ketiga kakaknya meninggal. Pemerintahan kemudian diwakili oleh pamannya Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora (ada juga yang menyebut Prabu Kuda Lalean, sedangkan dalam Babad Panjalu disebut Prabu Borosngora. Selain itu ia pun dijuluki Batara Guru di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung).

Wastu Kancana dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah Lara Sarkati puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir Sang Haliwungan, yang setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri yang kedua adalah Mayangsari puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinannya dengan Mayangsari lahir Ningrat Kancana, yang setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala.kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat.

6. PAJAJARAN (1482 M)

Sri Baduga Maharaja(Jayadewata), putera Prabu Dewa Niskala, mula-mula memperistri Ambetkasih, puteri Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian memperistri Subanglarang. Yang terakhir ini adalah puteri Ki Gedeng Tapa yang menjadi Raja Singapura.Putri ini lulusan pesantren Pondok Quro di Pura, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid Syekh Hasanudin yang menganut Mazhab Hanafi.

Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata).Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan

Di kemudian hari di Jawa Barat Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.dalam naskah Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:

"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".

(Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya).

Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam (6) buah jung ukuran 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].

Tome Pires ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]

Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.

Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.

bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]

Surawisesa (1521 - 1535)

Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan sebutan "kasuran" (perwira), "kadiran" (perkasa) dan "kuwanen" (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Pujian penulis Carita Parahiyangan memang berkaitan dengan hal ini.

Nagara Kretabhumi I/2 dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Surawisesa pernah diutus ayahnya menghubungi Alfonso d'Albuquerque (Laksamana Bungker) di Malaka. Ia pergi ke Malaka dua kali (1512 dan 1521). Hasil kunjungan pertama adalah kunjungan penjajakan pihak Portugis pada tahun 1513 yang diikuti oleh Tome Pires, sedangkan hasil kunjungan yang kedua adalah kedatangan utusan Portugis yang dipimpin oleh Hendrik de Leme (ipar Alfonso) ke Ibukota Pakuan. Dalam kunjungan itu disepakati persetujuan antara Pajajaran dan Portugis mengenai perdagangan dan keamanan.

Ratu Dewata (1535 - 1534)

Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah kiwari vegetarian

Ratu Sakti (1543 - 1551)

Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti. Untuk mengatasi keadaan yang ditinggalkan Ratu Dewata yang bertindak serba alim, ia bersikap keras bahkan akhirnya kejam dan lalim. Dengan pendek Carita Parahiyangan melukiskan raja ini. Banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali.

5. Ratu Nilakendra (1551 - 1567)

Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani "Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan" (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit.

. Seringkali, untuk mempercepat keadaan tidak sadar itu, digunakan minuman keras yang didahului dengan pesta pora makanan enak.

"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar"

(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).

Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu ("dibalay") mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun "rumah keramat" (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas.

Raga Mulya alias Prabu Suryakancana (1567 - 1579)

Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya (menurut Carita Parahiyangan). Dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (=Panembahan) Pulasari. [Mungkin raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari].

Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2 :

"Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala"

(Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M.

Sejarah Banten memberitakan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti (artinya saja):

"Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".

(Berdasar Naskah Wangsakerta)
Download Naskah Wangsakerta

Download  Transliterator Aksara Sunda


 >>link aksara-SUNDA dan Nusantara qwerty-ansi
_____________________________________________

Kitab Radyaradya Nusantara - Wangsakerta

Baju-perang-jawa-sunda.
Surat-surat-Kesultanan-banten
Jawara Banten
Download buku siswa kurikulum 2013
Sejarah Jawa



Wednesday, 2 December 2009

Pararaton

KITAB PARARATON

ATAU
KISAH KEN ANGROK.

Tuhan, Pencipta, Pelindung dan Pengakhir Alam, Semoga tak ada halangan, Sudjudku sesempurna sempurnanya.

I. Demikian inilah kisah Ken Angrok. Asal mulanja, ia didjadikan manusia: Adalah seorang anak janda di Jiput, bertingkah laku tak baik, memutus – mutus tali kekang kesusilaan, menjadi gangguan Hyang yang bersifat gaib; pergilah ia dari Jiput, mengungsi ke daerah Bulalak. Nama yang dipertuan di Bulalak itu: Mpu Tapawangkeng, ia sedang membuat pintu gerbang asramanya, dimintai seekor kambing merah jantan oleh roh pintu. Kata Tapawangkèng: “Tak akan berhasil berpusing kepala, akhirnya ini akan menjebabkan diriku jatuh kedalam dosa, kalau sampai terjadi aku membunuh manusia, tak akan ada yang dapat menyelesaikan permintaan korban kambing merah itu.” Kemudian orang yang memutus mutus tali kekang kesusilaan tadi berkata, sanggup mejadi korban pintu Mpu Tapawangkeng, sungguh ia bersedia dijadikan korban, agar ini dapat menjadi lantaran untuk dapat kembali ke surga dewa Wisnu dan menjelma lagi didalam kelahiran mulia, ke alam tengah lagi, demikianlah permintaannya.

Demikianlah ketika ia direstui oleh Mpu Tapawangkeng, agar dapat menjelma, disetujui inti sari kematiannya, akan menikmati tujuh daerah. Sesudah mati, maka ia dijadikan korban oleh Mpu Tapawangkeng. Selesai itu, ia terbang ke surga Wisnu, dan tidak bolak inti perjanjian yang dijadikan korban, ia meminta untuk dijelmakan di sebelah timur Kawi. Dewa Brahma melihat lihat siapa akan dijadikan temanya bersepasang. Sesudah demikian itu, adalah mempelai baru, sedang cinta mencintai, yang laki laki bernama Gajahpara, yang perempuan bernama Ken Endok, mereka ini bercocok tanam. Ken Endok pergi ke sawah, mengirim suaminya, yalah: si Gadjahpara; nama sawah tempat ia: mengirim : Ayuga; desa Ken Endok bernama Pangkur. Dewa Brahma turun kesitu, bertemu dengan Ken Endok, pertemuan mereka kedua ini terdjadi di ladang Lalaten; dewa Brahma mengenakan perjanjian kepada isteri itu: “Jangan kamu bertemu dengan lakimu lagi, kalau kamu bertemu dengan suamimu, ia akan mati, lagi pula akan tercampur anakku itu, nama anakku itu: Ken Angrok, dialah yang kelak akan memerintah tanah Jawa”. Dewa Brahma lalu menghilang. Ken Endok lalu ke sawah, berjumpa dengan Gajahpara. Kata Ken Endok: “Kakak Gajahpara, hendaknyalah maklumi, saya ditemani didalam pertemuan oleh Hyang yang tidak tampak di ladang Lalateng, pesan beliau kepadaku: jangan tidur dengan lakimu lagi, akan matilah lakimu, kalau ia memaksa tidur dengan kamu, dan akan tercampurlah anakku itu.

Lalu pulanglah Gajahpara, sesampainya di rumah Ken Endok diajak tidur, akan ditemani didalam pertemuan lagi. Ken Endok segan terhadap Gajahpara. “Wahai, kakak Gajahpara putuslah perkawinanku dengan kakak, saya takut kepada perkataan Sang Hyang. Ia tidak mengijinkan aku berkumpul dengan kakak lagi.”
Kata Gadjahpara: “Adik, bagaimana ini, apa yang harus kuperbuat, nah tak berkeberatan saya, kalau saya harus bercerai dengan kamu; adapun harta benda pembawaanmu kembali kepadamu lagi, adik, harta benda milikku kembali pula kepadaku lagi”. Sesudah itu Ken Endok pulang ke Pangkur di seberang utara, dan Gajahpara tetap bertempat tinggal di Campara di seberang selatan. Belum genap sepekan kemudian matilah Gajahpara. Kata orang yang mempercakapkan: “Luar biasa panas anak didalam kandungan itu, belum seberapa lama perceraian orang tua laki laki perempuan sudah diikuti, orang tua laki laki segera meninggal dunia”. Akhirnja sesudah genap bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki, dibuang di kuburan kanak kanak oleh Ken Endok. Selanjutnya ada seorang pencuri, bernama Lembong, tersesat di kuburan anak anak itu, melihat benda bernyala, didatangi oleh Lembong, mendengar anak menangis, setelah didekati oleh Lembong itu, nyatalah yang menyala itu anak yang menangis tadi, diambil diambin dan dibawa pulang diaku anak oleh Lembong.

Ken Endok mendengar, bahwa Lembong memungut seorang anak, teman Lembonglah yang memberitakan itu dengan menyebut nyebut anak, yang didapatinya di kuburan kanak kanak, tampak bernyala pada waktu malam hari.
Lalu Ken Endok datang kepadanya, sungguhlah itu anaknya sendiri. Kata Ken Endok: “Kakak Lembong, kiranya tuan tidak tahu tentang anak yang tuan dapat itu, itu adalah anak saya, kakak, jika kakak ingin tahu riwayatnya, demikianlah: Dewa Brahma bertemu dengan saya, jangan tuan tidak memuliakan anak itu, karena dapat diumpamakan, anak itu beribu dua berayah satu, demikian persamaannya.”

Lembong beserta keluarganya semakin cinta dan senang, lambat laun anak itu akhirnya menjadi besar, dibawa pergi mencuri oleh Lembong. Setelah mencapai usia sebaya dengan anak gembala, Ken Angrok bertempat tinggal di Pangkur.
Habislah harta benda Ken Endok dan harta benda Lembong, habis dibuat taruhan oleh Ken Angrok. Kemudian ia menjadi anak gembala pada yang dipertuan di Lebak, menggembalakan sepasang kerbau, lama kelamaan kerbau yang digembalakan itu hilang, kerbau sepasang diberi harga delapan ribu oleh yang dipertuan di Lebak, Ken Angrok sekarang dimarahi oleh orang tua laki laki dan perempuan, kedua duanya: “Nah buyung, kami berdua mau menjadi hamba tanggungan, asal kamu tidak pergi saja, kami sajalah yang akan menjalani, menjadi budak tanggungan pada yang dipertuan di Lebak”. Akhirnya tidak dihiraukan, Ken Angrok pergi, kedua orang tuanya ditinggalkan di Campara dan di Pangkur. Lalu Ken Angrok pergi mencari perlindungan di Kapundungan; Orang yang diungsi dan dimintai tempat berlindung tak menaruh belas kasihan. Ada seorang penjudi permainan Saji berasal dari Karuman, bernama Bango Samparan, kalah bertaruhan dengan seorang bandar judi di Karuman, ditagih tak dapat membayar uang, Bango Samparan itu pergi dari Karuman, berjiarah ke tempat keramat Rabut Jalu, mendengar kata dari angkasa, disuruh pulang ke Karuman lagi. “Kami mempunyai anak yang akan dapat menyelesaikan hutangmu ia bernama Ken Angrok.” Pergilah Bango Samparan dari Rabut Jalu, berjalan pada waktu malam, akhirnya menjumpai seorang anak, dicocokkan oleh Bango Samparan dengan petunjuk Hyang, sungguhlah itu Ken Angrok, dibawa puIang ke Karuman, diaku anak oleh Bango Samparan.

Dia itu lalu ketempat berjudi, bandar judi ditemui oleh Bango Samparan dilawan berjudi, kalahlah bandar itu, kembali kekalahan Bango Samparan, memang betul petunjuk Hyang itu, Bango Samparan pulang, Ken Angrok dibawa pulang oleh Bango Samparan. Bango Samparan berbayuh dua orang bersaudara, Genuk Buntu nama istri tuanja. dan Tirtaya nama isteri mudanja. Adapun nama anak anaknya dari isteri muda, yalah Panji Bawuk, anak tengah Panji Kuncang, adiknya ini Panji Kunal dan Panji Kenengkung, bungsu seorang anak perempuan bernama Cucu Puranti. Ken Angrok diambil anak oleh Genuk Buntu. Lama ia berada di Karuman, tidak dapat sehati dengan semua para Panji itu, Ken Angrok berkehendak pergi dari Karuman. Lalu ia ke Kapundungan bertermu dengan seorang anak gembala anak tuwan Sahaja, kepala desa tertua di Sagenggeng, bernama Tuwan Tita; ia bersahabat karib dengan Ken Angrok. Tuwan Tita dan Ken Angrok sangat cinta mencinta, selanjutnya Ken Angrok bertermpat tinggal pada Tuwan Sahaja, tak pernah berpisahlah Ken Angrok dan Tuwan Sahaja itu, mereka ingin tahu tentang bentuk huruf huruf, pergilah ke seorang guru di Sagenggeng, sangat ingin menjadi murid, minta diajar sastera. Mereka diberi pelajaran tentang bentuk bentuk bentuk dan penggunaan pengetahuan tentang huruf huruf hidup dan huruf huruf mati, semua perobahan huruf, juga diajar tentang sengkalan, perincian hari tengah bulan, bulan, tahun Saka, hari enam, hari lima, hari tujuh, hari tiga, hari dua, hari sembilan, nama nama minggu. Ken Angrok dan Tuwan Tita kedua duanya pandai diajar pengetahuan oleh Guru. Ada tanaman guru, menjadi hiasan halaman, berupa pohon jambu, yang ditanamnya sendiri.

Buahnya sangat lebat, sungguh padat karena sedang musimnya, dijaga baik tak ada yang diijinkan memetik, tak ada yang berani mengambil buah jambu itu. Kata guru: “Jika sudah masak jambu itu, petiklah”. Ken Angrok sangat ingin, melihat buah jambu itu, sangat dikenang kenangkan buah jambu tadi. Setelah malam tiba waktu orang tidur sedang nyenyak nyenyaknya, Ken Angrok tidur, kini keluarlah kelelawar dari ubun ubun Ken Angrok, berbondong bondong tak ada putusnya, semalam malaman makan buah jambu sang guru. Pada waktu paginya buah jambu tampak berserak serak di halaman, diambil oleh pengiring guru. Ketika guru melihat buah jambu rusak berserakan di halaman itu, maka rnendjadi susah.
Kata guru kepada murid murid: “Apakah sebabnya maka jambu itu rusak.” Menjawablah pengiring guru: “Tuanku rusaklah itu, karena bekas kelelawar makan jambu itu”. Kemudian guru mengambil duri rotan untuk mengurung jambunya dan dijaga semalam malaman. Ken Angrok tidur lagi diatas balai balai sebelah selatan, dekat tempat daun ilalang kering, di tempat ini guru biasanya menganyam atap.
Menurut penglihatan, guru melihat kelelawar penuh sesak berbondong bondong, keluar dari ubun ubun Ken Angrok, semuanya makan buah jambu guru, bingunglah hati guru itu, merasa tak berdaya mengusir kelelawar yang banyak dan memakan jambunya, marahlah guru itu, Ken Angrok diusir oleh guru, kira kira pada waktu tengah malam guru rnengusirnya. Ken Angrok terperanjat, bangun terhuyung huyung, lalu keluar, pergi tidur di tempat ilalang di luar. Ketika guru menengoknya keluar, ia melihat ada benda menyala di tengah ilalang, guru terperanjat mengira kebakaran, setelah diperiksa yang tampak menyala itu adalah Ken Angrok, ia disuruh bangun, dan pulang, diajak tidur di dalam rumah lagi, menurutlah Ken Angrok pergi tidur di ruang tengah lagi. Pagi paginya ia disuruh mengambil buah jambu oleh guru, Ken Angrok senang. katanya : “Aku mengharap semoga aku menjadi orang, aku akan membalas budi kepada guru.”

Lama kelamaan Ken Angrok telah menjadi dewasa, menggembala dengan Tuwan Tita, membuat pondok, bertempat di sebelah timur Sagenggeng, di ladang Sanja, dijadikan tempatnya untuk menghadang orang yang lalu lintas di jalan, dengan Tuwan Titalah temannya. Adalah seorang penyadap enau di hutan orang Kapundungan, mempunyai seorang anak perempuan cantik, ikut serta pergi ke hutan, dipegang oleh Ken Angrok, ditemani didalam pertemuan didalam hutan, hutan itu bernama Adiyuga. Makin lama makin berbuat rusuhlah Ken Angrok, kemudian ia memperkosa orang yang melalui jalan, hal ini diberitakan sampai di negara Daha, bahwasanya Ken Angrok berbuat rusuh itu, maka ia ditindak untuk dilenyapkan oleh penguasa daerah yang berpangkat akuwu, bernama Tunggul Ametung. Pergilah Ken Angrok dari Sagenggêng, mengungsi ke tempat keramat. Rabut Gorontol. “Semoga tergenang didalam air, orang yang akan melenyapkan saya” kutuk Ken Angrok, semoga keluar air dan tidak ada, sehingga terdjadilah tahun tak ada kesukaran di Jawa.”

Ia pergi dari Rabut Gorontol, mengungsi ke Wayang, ladang di Sukamanggala.
Ada seorang pemikat burung pitpit, ia memperkosa orang yang sedang rnemanggil manggil burung itu, lalu menuju ke tempat keramat Rabut Katu. Ia heran, melihat tumbuh tumbuhan katu sebesar beringin, dari situ lari mengungsi ke Jun Watu, daerah orang sempurna, mengungsi ke Lulumbang, bertempat tinggal pada penduduk desa, keturunan golongan tentara, bernana Gagak Uget. Lamalah ia bertempat tinggal disitu, memerkosa orang yang sedang rnelalui jalan. Ia lalu pergi ke Kapundungan, mencuri di Pamalantenan, ketahuanlah ia, dikejar dikepung, tak tahu kemana ia akan mengungsi, ia memanjat pohon tal, di tepi sungai, setelah siang, diketahui, bahwasanya ia memanjat pohon tal itu, ditunggu orang Kepundungan dibawah, sambil dipukulkan canang, Pohon tal itu ditebang oleh orang-orang yang mengejarnya. Sekarang hi menangis, menyebut nyebut Sang Pentjipta Kebaikan atas dirinya, akhirnya ia mendengar sabda dari angkasa, ia disuruh memotong daun tal, untuk didjadikan sayapnya kiri kanan, agar supaya dapat melayang ke seberang timur, mustahil ia akan mati, lalu ia memotong daun tal mendapat dua helai, dijadikan sayapnya kiri kanan, ia melayang keseberang timur, dan mengungsi ke Nagamasa, diikuti dikejar, mengungsilah ia kedaerah Oran masih juga dikejar diburu, lari mengungsi ke daerah Kapundungan, yang dipertuan di daerah Kapundungan didapatinya sedang bertanam, Ken Angrok ditutupi dengan cara diaku anak oleh yang dipertuan itu. Anak yang dipertuan di daerah itu sedang bertanam, banyaknya enam orang, kebetulan yang seoarang sedang pergi mengeringkan empangan, tinggal 1ima orang; yang sedang pergi itu diganti menanam oleh ken Angrok, datanglah yang mengejarnya, seraya berkata kepada penguasa daerah: “Wahai, tuan kepala daerah, ada seorang perusuh yang kami kejar, tadi mengungsi kemari.” meanjawablah penguasa daerah itu: “Tuan tuan, kami tidak sungguh bohong kami tuan, ia tidak disini; anak kami enam orang, yang sedang bertanam ini genap enam orang, hitunglah sendiri saja, jika lebih dari enam orang tentu ada orang lain disini” Kata orang-orang yang mengejar: “Memang sungguh, anak penguasa daerah enam orang, betul juga yang bertanam itu ada enam orang.” Segera pergilah yang mengejar.

Kata penguasa daerah kepada ken Angrok: “Pergilah kamu, buyung, jangan jangan kembali yang mengejar kamu, kalau kalau ada yang membicarakan kata kataku tadi, akan sia sia kamu berlindung kepadaku, pergilah mengungsi ke hutan”. Maka kata ken Angrok: “Semoga berhenti lagilah yang mengejar, itulah sebabnya maka Ken Angrok bersembunyi di dalam hutan, Patangtangan nama hutan itu. Selanjutnya ia mengungsi ke Ano, pergi ke hutan Terwag. ia semakin merusuh. Adalah seorang kepala lingkungan daerah Luki akan melakukan pekerjaan membajak tanah, berangkatlah ia membajak ladang, mempesiapkan. tanahnya untuk ditanami kacang, membawa nasi untuk anak yang menggembalakan lembu kepala Lingkungan itu, dimasukkin kedalam tabung bambu, diletakkan diatas onggokan; sangat asyiklah kepala Lingkungan itu, selalu membajak ladang kacang saja, maka dirunduk diambil dan dicari nasinya oleh Ken Angrok, tiap tiap hari terdjadi demikian itu, kepala Lingkungan bingunglah, karena tiap tiap hari kehilangan nasi untuk anak gembalanya, kata kepala Lingkungan: “Apakah sebabnya maka nasi itu hilang”. Sekarang nasi anak gembala kepala Lingkungan di tempat membajak itu diintai, dengan bersembunyi, anak gembalanya disuruh membajak, tak lama kemudian Ken Angrok datang dari dalam hutan, maksud Ken Angrok akan mengambil nasi, ditegor oleh kepala lingkungan: “Terangnya, kamulah, buyung, yang nengambil nasi anak gembalaku tiap tiap hari itu,”

Ken Angrok menjawab: “Betullah tuan kepala lingkungan, saya inilah yang mengambil nasi anak gembala tuan tiap-tiap hari, karena saya lapar, tak ada yang kumakan..” Kata kepala Lingkungan: “Nah buyung. datanglah ke asramaku, kalau kamu lapar, mintalah nasi tiap tiap hari, memang saya tiap tiap hari mengharap ada tamu datang”. Lalu Ken Angrok diajak pergi ke rumah tempat tinggal kepala lingkungan itu, dijamu dengan nasi dan lauk pauk. Kata kepala lingkungan kepada isterinya: “Nini batari, saya berpesan kepadamu, kalau Ken Angrok datang kemari, meskipun saya tak ada di rumah juga, lekas lekas terima sebagai keluarga, kasihanilah ia” diceriterakan, Ken Angrok tiap tiap hari datang, seperginya dari situ menuju ke Lulumbang, ke banjar Kocapet. Ada seorang kepala lingkungan daerah Turyantapada, ia pulang dari Kebalon, bernama Mpu Palot, ia adalah tukang emas, berguru kepada kepala desa tertua di Kebalon yang seakan akan sudah berbadankan kepandaian membuat barang barang emas dengan sesempurna sesempurnanya,
sungguh ia telah sempurna tak bercacad, Mpu Palot pulang dari Kebalon, membawa beban seberat lima tahil, berhenti di Lulumbang, Mpu Palot itu takut akan pulang sendirian ke Turyantapada, karena ada orang dikhabarkan melakukan perkosaan di jalan, bernama Ken Angrok. Mpu Palot tidak melihat orang lain, ia berjumpa dengan Ken Angrok di tempat beristirahat.

Kata ken Angrok kepada Mpu Palot: ,,Wahai, akan pergi kemanakah tuanku ini,”
Kata Mpu, menjawabnya: “Saya sedang bepergian dari Kebalon, buyung, akan pulang ke Turyantapada, saya takut di jalan, memikir mikir ada orang yang melakukan perkosaan dijalan, bernama Ken Angrok”. Tersenyumlah Ken Angrok: “Nah Tuan, anaknda ini akan menghantarkan pulang tuan, anaknda nanti yang akan melawan kalau sampai terdjadi berjumpa dengan orang yang bernama ken Angrok itu, laju sajalah tuan pulang ke Turyantapada, jangan khawatir.” Mpu di Tuyantapada itu merasa berhutang budi mendengar kesanggupan Ken Angrok. Setelah datang di Turyantapada, Ken Angrok diajar ilmu kepandaian membuat barang barang emas, lekas pandai, tak kalah kalau kesaktiannya dibandingkan dengan Mpu Palot, selanjutnya Ken Angrok diaku anak oleh Mpu Palot, itulah sebabnya asrama Turyantapada dinamakan daerah Bapa. Demikianlah Ken Angrok mengaku ayah kepada Mpu Palot, karena masih ada kekurangan Mpu Palot itu, maka Ken Angrok disuruhi pergi ke Kebalon oleh Mpu Palot, disuruh menyempurnakan kepandaiaan membuat barang barang emas pada orang tertua di Kebalon, agar dapat menyelesaikan bahan yang ditinggalkan oleh bapak kepala lingkungan. Ken Angrok berangkat menuju ke Kebalon, tidak dipercaya Ken Angrok itu oleh penduduk di Kebalon. Ken Angrok lalu marah : “Semoga ada lobang di tempat orang yang hidup menepi ini,”

Ken Angrok menikam, orang lari mengungsi kepada kepala desa tertua di Kebalon, dipanggil berkumpul petapa petapa yang berada di Kebalon semua, para guru Hyang, sampai pada para punta, semuanya keluar, membawa pukul perunggu, bersama sama mengejar dan memukul Ken Angrok dengan pukulan perunggu itu, maksud para petapa itu akan memperlihatkan kehendaknya untuk membunuh Ken Angrok. Segera mendengar suara dari angkasa: “Jangan kamu bunuh orang itu, wahai para petapa, anak itu adalah anakku, masih jauh tugasnya di alam tengah ini.” Demikan1ah suara dari angkasa, terdengar oleh para petapa. Maka ditolong Ken Angrok, bangun seperti sedia kala. Ken Angrok lalu mengenakan kutuk: “Semoga tak ada petapa di sebelah timur Kawi yang tidak sempurna kepandaianya membuat benda-benda emas”. Ken Angrok pergi dari Kebalon, mengungsi ke Turyantapada, ke daerah lingkungan Bapa; sempurnalah kepandaiannya tentang emas. Ken Angrok pergi dari lingkungan Bapa menuju ke daerah desa Tugaran, Kepala tertua di Tugaran tidak menaruh belas digangguilah orang Tugaran oleh Ken Angrok, arca penjaga pintu gerbangnya didukung diletakkan di daerah lingkungan Bapa, kemudian dijumpai anak perempuan kepala tertua di Tugaran itu, sedang menanam kacang di sawah kering. Gadis ini lalu ditemani didalam pertemuan oleh Ken Angrok, lama kelamaan tanaman kacang menghasilkan berkampit kampit; inilah sebabnya pula maka kacang Tugaran benihnya mengkilat besar dan gurih.
Ia pergi dari Tugaran pulang ke daerah Bapa lagi. Kata ken Angrok: “Kalau saja kelak menjadi orang, saya akan memberi perak kepada yang dipertuan di daerah Bapa ini. Di kota Daha dikabarkan tentang Ken Angrok, bahwa ia merusuh dan bersembunyi di Turyantapada, dan Daha, Diadakan tindakan untuk melenyapkannya, ia dicari oleh orang orang Daha, pergilah dari daerah Bapa menuju ke gunung Pustaka.

Ia pergi dari situ, mengungsi ke Limbehan, kepala tertua di Limbehan menaruh belas kasihanlah dimintai perlindungan oleh Ken Angrok itu, akhirnya Ken Angrok berjiarah ke tempat keramat Rabut Gunung Panitikan. Kepadanya turun petunjuk dewa, disuruh pergi ke Rabut Gunung Lejar pada hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama, para dewa bermusyawarah berrapat; Demikian ini kata seorang nenek kebayan di Panitikan: “Saya akan membantu menyembunyikan kamu, buyung, agar supaya tak ada yang akan tahu, saya akan menyapu di Gunung Lejar pada waktu semua dewa dewa bermusyawarah.” Demikian kata nenek kebayan di Panitikan itu.
Ken Angrok lari menuju ke Gunung Lejar, hari Rebo Wage, minggu Wariga pertama tiba, ia pergi ke tempat musyawarah. Ia bersembunyi di tempat sampah ditimbuni dengan semak belukar oleh nenek kebayan Panitikan. Lalu berbunyilah suara tujuh nada, guntur, petir, gempa guruh, kilat, taufan, angin ribut, hujan bukan masanya, tak ada selatnya sinar dan cahaya, maka demikian itu ia mendengar suara tak ada hentinya, berdengung dengung bergemuruh. Adapun inti musyawarah para dewa: “Yang rnemperkokoh nusa Jawa, daerah manalah mestinya.” Demikianlah kata para dewa, saling mengemukakan pembicaraan: “Siapakah yang pantas menjadi raja di pulau Jawa,” demikian pertanyaan para dewa semua. Menjawablah dewa Guru: “Ketahuilah dewa dewa semua, adalah anakku, seorang manusia yang lahir dari orang Pangkur, itulah yang memperkokoh tanah Jawa.” Kini keluarlah Ken Angrok dari tempat sampah, dilihat, oleh para dewa; semua dewa menjetujui, ia direstui bernama nobatan Batara Guru, demikian itu pujian dari dewa dewa, yang bersorak sorai riuh rendah. Diberi petunjuklah Ken Angrok agar mengaku ayah kepada seorang brahmana yang bernama Sang Hyang Lohgawe. dia ini baru saja dari Jambudipa, disuruh menemuinya di Taloka. Itulah asal mulanja ada brahmana di sebelah timur Kawi.

Pada waktu ia menuju ke Jawa, tidak berperahu. hanya menginjak rumput kekatang tiga potong, setelah mendarat dari air, lalu menuju ke daerah Taloka, dang Hyang Lohgawe berkeliling mencari Ken Angrok. Kata Dang Hyang Lohgawe: “Ada seorang anak, panjang tangannya melampaui lutut, tulis tangan kanannya cakera dan yang kiri sangka, bernana Ken Angrok. Ia tampak pada waktu aku memuja, ia adalah penjelmaan Dewa Wisnu, pemberitahuannya dahulu di Jambudwipa, demikian: “Wahai Dang Hyang Lohgawe, hentikan kamu memuja arca Wisnu, aku telah tak ada disini, aku telah menjelma pada orang di Jawa, hendaknya kamu mengikuti aku di tempat perjudian.” Tak lama kemudian Ken Angrok didapati di tempat perjudian, diamat amati dengan baik baik, betul ia adalah orang yang tampak pada Dang Hyang Lohgawe sewaktu ia memuja. Maka ia ditanyai. Kata Dang Hyang Lohgawe: “Tentu buyunglah yang bernama Ken Angrok, adapun sebabnya aku tahu kepadamu, karena kamu tampak padaku pada waktu aku memuja”. Menjawablah Ken Angrok: “Betul tuan, anaknda bernama Ken Angrok.”
Dipeluklah ia oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe: “Kamu saya aku anak, buyung, kutemani pada waktu kesusahan dan kuasuh kemana saja kamu pergi.”

Ken Angrok pergi dari Taloka, menuju ke Tumapel, ikut pula brahmana itu. Setelah ia datang di Tumapel, tibalah saat yang sangat tepat, ia sangat ingin menghamba pada akuwu. kepala daerah di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Dijumpainya dia itu, sedang dihadap oleh hamba hambanya, Kata Tunggul Ametung: “Selamatlah tuanku brahmana, dimana tempat asal tuan, saya baru kali ini melihat tuan.” Menjawablah Dang Hyang Lohgawe: Tuan Sang Akuwu, saya baru saja datang dari seberang, saja ini sangat ingin menghamba kepada sang akuwu”. Menjawablah Tunggul Ametung: “Nah, senanglah saya, kalau tuan Dang Hyang dapat bertempat tinggal dengan tenteram pada anaknda ini”. Demikianlah kata Tunggul Ametung. Lamalah Ken Angrok menghamba kepada Tunggul Ametung yang berpangkat akuwu di Tumapel itu, Kemudian adalah seorang pujangga, pemeluk agama Budha, menganut aliran Mahayana, bertapa di ladang orang Panawijen, bernama Mpu Purwa. Ia mempunyai seorang anak perempuan tunggal, pada waktu ia belum menjadi pendeta Mahayana. Anak perempuan itu luar biasa cantik moleknja bernama Ken Dedes. Dikabarkan, bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, termasyur di sebelah timur Kawi sampai Tumapel. Tunggul Ametung mendengar itu, lalu datang di Panawijen, langsung menuju ke desa Mpu Purwa, bertemu dengan Ken Dedes; Tunggul Ametung sangat senang melihat gads cantik itu.

Kebetulan Mpu Purwa tak ada di pertapaannya, sekarang Ken Dedes sekonyong konyong dilarikan oleh Tunggu1 Ametung. Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak rnenjumpai anaknya, sudah dilarikan oleh Akuwu di Tumapel; ia tidak tahu soal yang sebenarnya, maka Mpu Purwa menjatuhkan serapah yang tidak baik: “Nah, semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk keris dan diambil isterinya, demikian juga orang orang di Panawidjen ini, semoga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak keluar air kolamnya ini, dosanya: mereka tak mau memberitahu, bahwa anakku dilarikan orang dengan paksaan. Demikian kata Mpu Purwa: ,,Adapun anakku yang menyebabkan gairat dan bercahaya terang, kutukku kepadanya, hanya: semoga ia mendapat keselamatan dan kebahagiaan besar.” Demikian kutuk pendeta Mahayana di Panawidjen. Setelah datang di Tumapel, ken Dedes ditemani seperaduar oleh Tunggul Ametung, Tunggul Ametung tak terhingga cinta kasihnya, baharu saja Ken Dedes menampakkan gejala gejala mengandung, Tunggul Ametung pergi bersenang senang, bercengkerama berserta isterinya ke taman Boboji;

Ken Dedes turun dari kereta kebetulan disebabkan karena nasib, tersingkap betisnya, terbuka sampai rahasianya, lalu kelihatan bernyala oleh Ken Angrok, terpesona ia melihat, tambahan pula kecantikannya memang sempurna, tak ada yang menyamai kecantikannya itu, jatuh cintalah Ken Angrok, tak tahu apa yang akan diperbuat. Setelah Tunggul Ametung pulang dari bercengkerama itu, Ken Angrok memberitahu kepada Dang Hyang Lohgawe, berkata: “Bapa Dang Hyang, ada seorang perempuan bernyala rahasianya, tanda perempuan yang bagaimanakah demikian itu, tanda buruk atau tanda baikkah itu”. Dang Hyang menjawab: ” Siapa itu, buyung”. Kata Ken Angrok: ” Bapa, memang ada seorang perempuan, yang kelihatan rahasianya oleh hamba”. Kata Dang Hyang: “Jika ada perempuan yang demikian, buyung, perempuan itu namanya: Nawiswari, ia adalah perempuan yang paling utama, buyung, berdosa, jika memperisteri perempuan itu, akan menjadi maharaja.” Ke Angrok diam, akhirnya berkata: “Bapa Dang Hyang, perempuan yang bernyala rahasianya itu yalah isteri sang akuwu di Tumapel, jika demikian akuwu, saya akan bunuh dan saya ambil isterinya, tentu ia akan mati, itu kalau tuan mengijinkan.” Jawab Dang Hyang: ” Ya, tentu matilah, buyung, Tunggul Ametung olehmu, hanya saja tidak pantas memberi ijin itu kepadamu, itu bukan tindakan seorang pendeta, batasnya adalah kehendakmu sendiri.” Kata Ken Angrok: “Jika demikian, Bapa, hamba memohon diri kepada tuan.” Sang Brahmana menjawab: “Akan kemana kamu buyung?” Ken Angrok menjawab: ” Hamba pergi ke Karuman, ada seorang penjudi yang mengaku anak kepada hamba bernama Bango Samparan, ia cinta kepada hamba, dialah yang akan hamba mintai pertimbangan, mungkin ia akan menyetujuinya.”

Kata Dang Hyang: “Baiklah kalau demikian, kamu jangan tinggal terlalu lama di Karuman, buyung.” Kata Ken Angrok: “Apakah perlunya hamba lama disana.”
Ken Angrok pergi dari Tumapel, sedatangnya Karuman, bertemu dengan Bango Samparan. “Kamu ini keluar dari mana, lama tidak datang kepadaku, seperti didalam impian saja bertemu dengan kamu ini, lama betul kamu pergi.” Ken Angrok menjawab: “Hamba berada di Tumapel, Bapa, menghamba pada sang akuwu. Adapun sebabnya hamba datang kepada tuan, adalah seorang isteri akuwu, turun dari kereta, tersingkap rahasianya, kelihatan bernyala oleh hamba. Ada seorang brahmana yang baru saja datang di Jawa, bernama Dang Hyang Lohgawe, ia mengaku anak kepada hamba, hamba bertanya kepadanya: “Apakah nama seorang perempuan yang menyala rahasianya itu.” Kata Sang Brahmana: “Itu yang disebut seorang perempuan ardana reswari, sungguh baik tanda itu, karena siapa saja yang memperisterinya, akan dapat menjadi maharaja.” Bapa Bango, hamba ingin menjadi raja, Tunggul Ametung akan hamba bunuh, isterinya akan hamba ambil, agar supaya anaknda menjadi raja, hamba minta persetujuan Bapa Dang Hyang, Kata Dang Hyang: “Buyung Angrok, tidak dapat seorang brahmana memberi persetujuan kepada orang yang mengambil isteri orang lain, adapun batasnya kehendakmu sendiri.”

Itulah sebabnya hamba pergi ke Bapa Bango, untuk meminta ijin kepada bapa, sang akuwu akan hamba bunuh dengan rahasia, tentu akuwu mati oleh hamba.” Menjawablah Bango Samparan: “Nah, baiklah kalau demikian, saya memberi ijin, bahwa kamu akan menusuk keris kepada Tunggul Ametung dan mengambil isterinya itu, tetapi hanya saja, buyung Angrok, akuwu itu sakti, mungkin tidak dapat luka, jika kamu tusuk keris yang kurang bertuah. Saya ada seorang teman, seorang pandai keris di Lulumbang, bernama Mpu Gandring, keris buatannya bertuah, tak ada orang sakti terhadap buatannya, tak perlu dua kali ditusukkan, hendaknyalah kamu menyuruh membuat keris kepadanya, jikalau keris ini sudah selesai dengan itulah hendaknya kamu membunuh Tunggul Ametung secara rahasia.”

Demikian pesan Bango Samparan kepada Ken Angrok. kata Ken Angrok: “Hamba memohon diri, Bapa, akan pergi ke Lulumbang.” Ia pergi dari Karuman, lalu ke Lulumbang, bertemu dengan Gandring yang sedang bekerja di tempat membuat keris. Ken Angrok datang lalu bertanya: “Tuankah barangkali yang bernama Gandring itu, hendaknyalah hamba dibuatkan sebilah keris yang dapat selesai didalam waktu lima bulan, akan datang keperluan yang harus hamba lakukan.”

Kata Mpu Gandring: “Jangan lima bulan itu, kalau kamu menginginkan yang baik, kira – kira setahun baru selesai, akan baik dan matang tempaannya,” Ken Angrok berkata: “Nah, biar bagaimana mengasahnya, hanya saja, hendaknya selesai didalam lima bulan.” Ken Angrok pergi dari Lulumbang, ke Tumapel bertemu dengan Dang Hyang Lohgawe yang bertanya kepada Ken Angrok: “Apakah sebabnya kamu lama di Tumapel itu.” Sesudah genap lima bulan, ia ingat kepada perjanjiannya, bahwa ia menyuruh membuatkan keris kepada Mpu Gandring.
Pergilah ia ke Lulumbang, bertemu dengan Mpu Gandring yang sedang mengasah dan memotong motong keris pesanan Ken Angrok. Kata Ken Angrok: “Manakah pesanan hamba kepada tuan Gandring.” Menjawablah Gandring itu: “Yang sedang saya asah ini, buyung Angrok.” Keris diminta untuk dilihat oleh Ken Angrok.
Katanya dengan agak marah: “Ah tak ada gunanya aku menyuruh kepada tuan Gandring ini, bukankah belum selesai diasah keris ini, memang celaka, inikah rupanya yang tuan kerjakan selama lima bulan itu.” Menjadi panas hati Ken Angrok, akhirnya ditusukkan kepada Gandring keris buatan Gandring itu.
Lalu diletakkan pada lumpang batu tempat air asahan, lumpang berbelah menjadi dua, diletakkan pada landasan penempa, juga ini berbelah menjadi dua.
Kini Gandring berkata: “Buyung Angrok, kelak kamu akan mati oleh keris itu, anak cucumu akan mati karena keris itu juga, tujuh orang raja akan mati karena keris itu.”

Sesudah Gandring berkata demikian lalu meninggal. Sekarang Ken Angrok tampak menyesal karena Gandring meninggal itu, kata Ken Angrok: “Kalau aku menjadi orang, semoga kemulianku melimpah, juga kepada anak cucu pandai keris di Lulumbang.” Lalu pulanglah Ken Angrok ke Tumapel. Ada seorang kekasih Tunggul Ametung, bernama Kebo Hijo, bersahabat dengan Ken Angrok, cinta mencintai. Pada waktu itu Kebo Hijo melihat bahwa Ken Angrok menyisip keris baru, berhulu kayu cangkring masih berduri, belum diberi perekat, masih kasar, senanglah Kebo Hijo melihat itu. Ia berkata kepada Ken Angrok: ” Wahai kakak, saya pinjam keris itu.” Diberikan oleh Ken Angrok, terus dipakai oleh Kebo Hijo, karena senang memakai melihatnya itu. Lamalah keris Ken Angrok dipakai oleh Kebo Hijo, tidak orang Tumapel yang tidak pernah melihat Kebo Hijo menyisip keris baru dipinggangnya. Tak lama kemudian keris itu dicuri oleh Ken Angrok dan dapat diambil oleh yang mencuri itu. Selanjutnya Ken Angrok pada waktu malam hari pergi kedalam rumah akuwu, saat itu baik, sedang sunyi dan orang orang tidur, kebetulan juga disertai nasib baik , ia menuju ke peraduan Tunggul Ametung, tidak terhalang perjalanannya, ditusuklah Tunggul Ametung oleh Ken Angrok, tembus jantung Tunggul Ametung, mati seketika itu juga. Keris buatan Gandring ditinggalkan dengan sengaja. Sekarang sesudah pagi pagi keris yang tertanam didada Tunggul Ametung diamat amati orang, dan oleh orang yang tahu keris itu dikenal keris Kebo Hijo yang biasa dipakai tiap tiap hari kerja. Kata orang Tumapel semua: “Terangnya Kebo Hijolah yang membunuh Tunggul Ametung dengan secara rahasia, karena memang nyata kerisnya masih tertanam didada sang akuwu di Tumapel.

Kini Kebo Hijo ditangkap oleh keluarga Tunggul Ametung, ditusuk dengan keris buatan Gandring, meninggallah Kebo Hijo. Kebo Hijo mempunyai seorang anak, bernama Mahisa Randi, sedih karena ayahnya meninggal, Ken Angrok menaruh belas kasihan kepadanya, kemana mana anak ini dibawa, karena Ken Angrok luar biasa kasih sayangnya terhadap Mahisa Randi. Selanjutnya Dewa memang telah menghendaki, bahwasanya Ken Angrok memang sungguh sungguh menjadi jodoh Ken Dedes, lamalah sudah mereka saling hendak menghendaki, tak ada orang Tumapel yang berani membicarakan semua tingkah laku Ken Angrok, demikian juga semua keluarga Tunggul Ametung diam, tak ada yang berani mengucap apa apa, akhirnya Ken Angrok kawin dengan Ken Dedes. Pada waktu ditinggalkan oleh Tunggul Ametung, dia ini telah mengandung tiga bulan, lalu dicampuri oleh Ken Angrok. Ken Angrok dan Ken Dedes sangat cinta mencintai. Telah lama perkawinannya. Setelah genap bulannya Ken Dedes melahirkan seorang anak laki laki, lahir dari ayah Tunggul Ametung, diberi nama Sang Anusapati dan nama kepanjangannya kepanjiannya Sang Apanji Anengah. Setelah lama perkawinan Ken Angrok dan Ken Dedes itu, maka Ken Dedes dari Ken Angrok melahirkan anak laki laki, bernama Mahisa Wonga Teleng, dan adik Mahisa Wonga Teleng bernama Sang Apanji Saprang, adik panji Saprang juga laki laki bernama Agnibaya, adik Agnibaya perempuan bernama Dewi Rimbu, Ken Angrok dan Ken Dedes mempunyai empat orang anak. Ken Angrok mempunyai isteri muda bernama Ken Umang, ia melahirkan anak laki laki bernama panji Tohjaya, adik panji Tohjaya, bernama Twan Wregola, adik Twan Wregola perempuan bernama Dewi Rambi.
Banyaknya anak semua ada 9 orang, laki laki 7 orang, perempuan 2 orang.
Sudah dikuasailah sebelah timur Kawi, bahkan seluruh daerah sebelah timur Kawi itu, semua takut terhadap Ken Angrok, mulailah Ken Angrok menampakkan keinginannya untuk menjadi raja, orang orang Tumapel semua senang, kalau Ken Angrok menjadi raja itu.

Kebetulan disertai kehendak nasib, raja Daha, yalah raja Dandhang Gendis, berkata kepada para bujangga yang berada di seluruh wilayah Daha, katanya: “Wahai, tuan tuan bujangga pemeluk agama Siwa dan agama Budha, apakah sebabnya tuan tuan tidak menyembah kepada kami, bukanlah kami ini semata mata Batara Guru.” Menjawablah para bujangga di seluruh daerah negara Daha: “Tuanku, semenjak jaman dahulu kala tak ada bujangga yang menyembah raja.” demikianlah kata bujangga semua. Kata Raja Dandhang Gendis: “Nah, jika semenjak dahulu kala tak ada yang menyembah, sekarang ini hendaknyalah kami tuan sembah, jika tuan tuan tidak tahu kesaktian kami, sekarang akan kami beri buktinya.” Kini Raja Dandhang Gendis mendirikan tombak, batang tombak itu dipancangkan kedalam tanah, ia duduk di ujung tombak, seraya berkata: “Nah, tuan tuan bujangga, lihatlah kesaktian kami.” Ia tampak berlengan empat, bermata tiga, semata mata Batara Guru perwujudannya, para bujangga di seluruh daerah Daha diperintahkan menyembah, semua tidak ada yang mau, bahkan menentang dan mencari perlindungan ke Tumapel, menghamba kepada Ken Angrok. Itulah asal mulanya Tumapel tak mau tahu negara Daha. Tak lama sesudah itu Ken Angrok direstui menjadi raja di Tumapel, negaranya bernama Singasari, nama nobatannya Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi, disaksikan oleh para bujangga pemeluk agama Siwa dan Budha yang berasal dari Daha, terutama Dang Hyang Lohgawe, ia diangkat menjadi pendeta istana, adapun mereka yang menaruh belas kasihan kepada Ken Angrok, dahulu sewaktu ia sedang menderita, semua dipanggil, diberi perlindungan dan diberi belas balasan atas budi jasanya, misalnya Bango Samparan, tidak perlu dikatakan tentang kepala lingkungan Turyantapada, dan anak anak pandai besi Lulumbang yang bernama Mpu Gandring, seratus pandai besi di Lulumbang itu diberi hak istimewa di dalam lingkungan batas jejak bajak beliung cangkulnya.

Adapun anak Kebo Hijo disamakan haknya dengan anak Mpu Gandring. Anak laki laki Dang Hyang Lohgawe, bernama Wangbang Sadang, lahir dari ibu pemeluk agama Wisnu, dikawinkan dengan anak Bapa Bango yang bernama Cucu Puranti, demikianlah inti keutamaan Sang Amurwabumi. Sangat berhasillah negara Singasari, sempurna tak ada halangan. Telah lama terdengar berita, bahwa Ken Angrok sudah menjadi raja, diberitahulah raja Dandhang Gendis, bahwa Ken Angrok bermaksud akan menyerang Daha. Kata Raja Dandhang Gendis: “Siapakah yang akan mengalahkan negara kami ini, barangkali baru kalah, kalau Batara Guru turun dari angkasa, mungkin baru kalah.” Diberi tahulah Ken Angrok, bahwa raja Dandhang Gedis berkata demikian. Kata Sang Amurwabumi: “Wahai, para bujangga pemeluk Siwa dan Budha, restuilah kami mengambil nama nobatan Batara Guru.” Demikianlah asal mulanya ia bernama nobatan Batara Guru, direstui oleh bujangga brahmana dan resi. Selanjutnya ia lalu pergi menyerang Daha. Raja Dandhang Gendis mendengar, bahwa Sang Amurwabumi di Tumapel datang menyerang Daha, Dandhang Gendis berkata: “Kami akan kalah, karena Ken Angrok sedang dilindungi Dewa.” Sekarang tentara Tumapel bertempur melawan tentara Daha, berperang disebelah utara Ganter, bertemu sama sama berani, bunuh membunuh, terdesaklah tentara Daha.

Adik Raja Dandhang Gendis gugur sebagai pahlawan, ia bernama Mahisa Walungan, bersama sama dengan menterinya yang perwira, bernama Gubar Baleman. Adapun sebabnya itu gugur, karena diserang bersama sama oleh tentara Tumapel, yang berperang laksana banjir dari gunung. Sekarang tentara Daha terpaksa lari, karena yang menjadi inti kekuatan perang telah kalah. Maka tentara Daha bubar seperti lebah, lari terbirit birit meninggalkan musuh seperti kambing, mencabut semua payung payungnya, tak ada yang mengadakan perlawanan lagi.
Maka Raja Dandhang Gendis mundur dari pertempuran, mengungsi ke alam dewa, bergantung gantung di angkasa, beserta dengan kuda, pengiring kuda, pembawa payung, dan pembawa tempat sirih, tempat air minum, tikar, semuanya naik ke angkasa. Sungguh kalah Daha oleh Ken Angrok. Dan adik adik Sang Dandhang Gendis, yalah: Dewi Amisam, Dewi Hasin, dan Dewi Paja diberi tahu, bahwa raja Dandhang Gendis kalah berperang, dan terdengar, ia telah di alam dewa, bergantung gantung di angkasa, maka tuan dewi ketiga tiganya itu menghilang bersama sama dengan istananya juga. Sesudah Ken Angrok menang terhadap musuh, lalu pulang ke Tumapel, dikuasailah tanah Jawa olehnya, ia sebagai raja telah berhasil mengalahkan Daha pada tahun saka : 1144.

Lama kelamaan ada berita, bahwa sang Anusapati, anak tunggal Tunggul Ametung bertanya tanya kepada pengasuhnya. “Hamba takut terhadap ayah tuan”, demikian kata pengasuh itu: “Lebih baik tuan berbicara dengan ibu tuan”. Karena tidak mendapat keterangan, Nusapati bertanya kepada ibunya: “Ibu, hamba bertanya kepada tuan, bagaimanakah jelasnya ini?” Kalau ayah melihat hamba, berbeda pandangannya dengan kalau ia melihat anak anak ibu muda, semakin berbeda pandangan ayah itu.” Sungguh sudah datang saat Sang Amurwabumi. Jawab Ken Dedes: “Rupa rupanya telah ada rasa tidak percaya, nah, kalau buyung ingin tahu, ayahmu itu bernama Tunggul Ametung, pada waktu ia meninggal, saya telah mengandung tiga bulan, lalu saya diambil oleh Sang Amurwabumi.: Kata Nusapati: “Jadi terangnya, ibu, Sang Amurwabumi itu bukan ayah hamba, lalu bagaimana tentang meninggalnya ayah itu?” “Sang Amurwabumi buyung yang membunuhnya.” Diamlah Ken Dedes, tampak merasa membuat kesalahan karena memberi tahu soal yang sebenarnya kepada anaknya. Kata Nusapati: “Ibu, ayah mempunyai keris buatan Gandring. itu hamba pinta, ibu.” Diberikan oleh Ken Dedes. Sang Anusapati memohon diri pulang ke tempat tinggalnya.

Adalah seorang hambanya berpangkat pengalasan di Batil, dipanggil oleh Nusapati, disuruh membunuh Ken Angrok, diberi keris buatan Gandring, agar supaya dipakainya untuk membunuh Sang Amurwabumi, orang di Batil itu disanggupi akan diberi upah oleh Nusapati. Berangkatlah orang Batil masuk kedalam istana, dijumpai Sang Amurwabumi sedang bersantap, ditusuk dengan segera oleh orang Batil. Waktu ia dicidera, yalah: Pada hari Kamis Pon, minggu Landhep, saat ia sedang makan, pada waktu senjakala, matahari telah terbenam, orang telah menyiapkan pelita pada tempatnya. Sesudah Sang Amurwabumi mati, maka larilah orang Batil, mencari perlindungan pada Sang Anusapati, kata orang Batil: “Sudah wafatlah ayah tuan oleh hamba.” Segera orang Batil ditusuk oleh Nusapati.
Kata orang Tumapel: “Ah, Batara diamuk oleh pengalasan di Batil, Sang Amurwabumi wafat pada tahun saka 1168, dicandikan di Kagenengan.

II. Sesudah demikian, sang Anusapati mengganti menjadi raja, ia menjadi raja pada tahun Saka 1170. Lama kelamaan diberitakan kepada Raden Tohjaya, anak Ken Angrok dari isteri muda, sehingga ia mendengar segala tindakan Anusapati, yang mengupahkan pembunuhan Sang Amurwabumi kepada orang Batil. Sang Apanji Tohjaya tidak senang tentang kematian ayahnya itu, meikir mikir mencari cara untuk membalas, agar supaya ia dapat membunuh Anusapati. Anusapati tahu, bahwasanya ia sedang direncana oleh Panji Tohjaya, berhati hatilah Sang Anusapati, tempat tidurnya dikelilingi kolam, dan pintunya selalu dijaga orang, sentosa dan teratur. Setelah lama kemudian Sang Apanji Tohjaya datang menghadap dengan membawa ayam jantan pada Batara Anuspati. Kata Apanji Tohjaya: “Kakak, ada keris ayah buatan Gandring, itu hamba pinta dari tuan.” Sungguh sudah tiba saat Batara Anuspati. Diberikan keris buatan Gandring oleh Sang Anusapati, diterima oleh Apanji Tohjaya, disisipkan dipinggangnya, lalu kerisnya yang dipakai semula, diberikan kepada hambanya. Kata Apanji Tohjaya: “Baiklah, kakak mari kita menyiapkan ayam jantan untuk segera kita ajukan di gelanggang.”
Menjawablah Sang Adipati: “Baiklah, adik.” Selanjutnya ia menyuruh kepada hamba pemelihara ayam mengambil ayam jantan, kata Anusapati: “Nah, adik mari mari kita sabung segera.”, “Baiklah” kata Apanji Tohjaya. Mereka bersama sama memasang taji sendiri – sendiri, telah sebanding, Sang Anusapati asyik sekali. Sungguh telah datang saat berakhirnya, lupa diri, karena selalu asyik menyabung ayamnya, ditusuk keris oleh Apanji Tohjaya. Sang Anusapati wafat pada tahun Saka 1171, dicandikan di Kidal.

III. Apanji Tohjaya menjadi raja di Tumapel. Sang Anusapati mempunyai seorang anak laki laki bernama Ranggawuni, hubungan keluarganya dengan Apanji Tohjaya adalah kemenakan. Mahisa Wonga Teleng, saudara Apanji Tohjaya, sama ayah lain ibu, mempunyai anak laku laki, yalah: Mahisa Campaka, hubungan keluarganya dengan Apanji Tohjaya adalah kemenakan juga. Pada waktu Apanji Tohjaya duduk diatas tahta, disaksikan oleh orang banyak, dihadap oleh menteri menteri, semua terutama Pranaraja, Ranggawuni beserta Kebo Campak juga menghadap. Kata Apanji Tohjaya: “Wahai, menteri menteri semua, terutama Pranaraja, lihatlah kemenakanku ini, luar biasa bagus dan tampan badannya. Bagaimana rupa musuhku diluar Tumapel ini, kalau dibandingkan dengan orang dua itu, bagaimanakah mereka, wahai Pranaraja.” Pranaraja menjawab sambil menyembah: “Betul tuanku, seperti titah tuanku itu, bagus rupanya dan sama sama berani mereka berdua, hanya saja tuanku, mereka dapat diumpamakan sebagai bisul di pusat perut tak urung akan menyebabkan mati akhirnya.” Paduka batara itu lalu diam, sembah Pranaraja makin terasa, Apanji Tohjaya menjadi marah, lalu ia memanggil Lembu Ampal, diberi perintah untuk melenyapkan kedua bangsawan itu. Kata Apanji Tohjaya kepada Lembu Ampal: “Jika kamu tidak berhasil melenyapkan dua orang kesatriya itu, kamulah yang akan kulenyapkan.” Pada waktu Apanji Tohjaya, memberi perintah kepada Lembu Ampal melenyapkan dua bangsawan itu, ada seorang brahmana yang sedang melakukan upacara agama sebagai pendeta istana untuk Apanji Tohjaya. Dang Hyang itu mendengar, bahwa kedua bangsawan itu disuruh melenyapkan. Sang Brahmana menaruh belas kasihan kepada dua bangsawan, lalu memberi tahu: “Lembu Ampal diberi perintah untuk melenyapkan tuan berdua, kalau tuan kalian dapat lepas dari Lembu Ampal ini, maka Lembu Ampallah yang akan dilenyapkan oleh Seri Maharaja.” Kedua bangsawan itu berkata: “Wahai Dang Hyang, bukanlah kami tidak berdosa.”

Sang Brahmana menjawab: “Lebih baik tuan bersembunyi dahulu.” Karena masih dibimbangkan, kalau kalau brahmana itu bohong, maka kedua bangsawan itu pergi ke Apanji Patipati. Kata bangsawan itu: “Panji Patipati, kami bersembunyi di dalam rumahmu, kami mengira, bahwa kami akan dilenyapkan oleh Batara, kalau memang akan terjadi kami dilenyapkan itu, kami tidak ada dosa.” Setelah itu maka Apanji Patipati mencoba mendengar dengarkan: “Tuan, memang betul, tuan akan dilenyapkan, Lembu Ampal lah yang mendapat tugas.” Keduanya makin baik cara bersembunyi, dicari, kedua duanya tak dapat diketemukan. Didengar dengarkan, kemana gerangan mereka pergi, tak juga dapat terdengar. Maka Lembu Ampal didakwa bersekutu dengan kedua bangsawan itu oleh Batara. Sekarang Lembu Ampal ditindak untuk dilenyapkan, larilah ia, bersembunyi di dalam rumah tetangga Apanji Patipati. Lembu Ampal mendengar, bahwa kedua bangsawan berada di tempat tinggal Apanji Pati Pati. Lembu Ampal pergi menghadap kedua bangsawan, kata Lembu Ampal kepada kedua bangsawan itu: “Hamba berlindung kepada tuan hamba, dosa hamba: disuruh melenyapkan tuan oleh Batara. Sekarang hamba minta disumpah, kalau tuan tidak percaya, agar supaya hamba dapat menghamba paduka tuan dengan tenteram.” Setelah disumpah dua hari kemudian Lembu Ampal menghadap kepada kedua bangsawan itu: “Bagaimanakah akhirnya tuan, tak ada habis habisnya terus menerus bersembunyi ini, sebaiknya hamba akan menusuk orang Rajasa, nanti kalau mereka sedang pergi kesungai.” Pada waktu sore Lembu Ampal menusuk orang Rajasa, ketika orang berteriak, ia lari kepada orang Sinelir. Kata orang Rajasa: “Orang Sinelir menusuk orang Rajasa. Kata orang Sinelir: “Orang Rajasa menusuk orang Sinelir.” Akhirnya orang orang Rajasa dan orang orang Sinelir itu berkelahi, bunuh membunuh sangat ramainya, dipisah orang dari istana, tidak mau memperhatikan. Apanji Tohjaya marah, dari kedua golongan ada yang dihukum mati. Lembu Ampal mendengar, bahwa dari kedua belah pihak ada yang dilenyapkan, maka Lembu Ampal pergi ke Orang Rajasa. Kata Lembu Ampal: “Kalau kamu ada yang akan dilenyapkan hendaknyalah kamu mengungsi kepada kedua bangsawan, karena kedua bangsawan itu masih ada.” Orang orang Rajasa menyatakan kesanggupannya: “Nah, bawalah kami hamba hamba ini menghadapnya, wahai Lembu Ampal.” Maka ketua orang Rajasa dibawa menghadap kepada kedua bangsawan. Kata orang Rajasa itu: “Tuanku, hendaknyalah tuan lindungi hamba hamba Rajasa ini, apa saja yang menjadi tuan titah, hendaknyalah hamba tuan sumpah, kalau kalau tidak sungguh sungguh kami menghamba ini, kalau tidak jujur penghambaan kami ini.” Demikian pula orang Sinelir, dipanggilah ketuanya, sama kesanggupannya dengan orang Rajasa, selanjutnya kedua belah pihak telah didamaikan dan telah disumpah semua, lalu dipesan: “Nanti sore hendaknya kamu datang kemari, dan bawalah temanmu masing masing, hendaknyalah kamu memberontak meluka lukai di dalam istana.”
Orang Sinelir dan orang Rajasa bersama sama memohon diri. Setelah sore hari orang orang dari kedua belah pihak datang membawa teman temannya, bersama sama menghadap kepada kedua bangsawan, mereka keduanya saling mengucap selamat datang, lalu berangkat menyerbu kedalam istana. Apanji Tohjaya sangat terperanjat, lari terpisah, sekali gus kena tombak. Sesudah huru hara berhenti, ia dicari oleh hamba hambanya, diusung dan dibawa lari ke Katanglumbang. Orang yang mengusung lepas cawatnya, tampak belakangnya. Kata Apanji Tohjaya kepada orang yang memikul itu: “Perbaikilah cawatmu, karena tampak belakangmu.” Adapun sebabnya ia tidak lama menjadi raja itu, karena pantat itu.
Setelah datang di Lumbangkatang, wafatlah ia, lalu dicandikan di Katanglumbang, ia wafat pada tahun Saka 1172.

IV. Kemudian Ranggawuni menjadi raja, ia dengan Mahisa Campaka dapat diumpamakan seperti dua ular naga didalam satu liang. Ranggawuni bernama nobatan Wisnuwardana, demikanlah namanya sebagai raja, Mahisa Campaka menjadi Ratu Angabhaya, bernama nobatan Batara Narasinga. Sangat rukunlah mereka, tak pernah berpisah. Batara Wisnuwardana mendirikan benteng di Canggu sebelah utara pada tahun Saka 1193. Ia berangkat menyerang Mahibit, untuk melenyapkan Sang Lingganing Pati. Adapun sebabnya Mahibit kalah, karena kemasukkan orang yang bernama Mahisa Bungalan. Sri Ranggawuni menjadi raja lamanya 14 tahun, ia wafat pada tahun 1194, dicandikan di Jajagu. Mahisa Campaka wafat, dicandikan di Kumeper, sebagian abunya dicandikan di Wudi Kuncir.

V. Sri Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki laki, bernama Sri Kertanegara, Mahisa Campaka meninggalkan seorang anak laki laki juga, bernama Raden Wijaya. Kertanegara menjadi Raja, bernama nobatan Batara Siwabuda.
Adalah seorang hambanya, keturunan orang tertua di Nangka, bernama Banyak Wide, diberi sebutan Arya Wiraraja, rupa rupanya tidak dipercaya, dijatuhkan, disuruh menjadi Adipati di Sungeneb, bertempat tinggal di Madura sebelah timur. Ada Patihnya, pada waktu ia baru saja naik keatas tahta kerajaan, bernama Mpu Raganata, ini selalu memberi nasehat untuk keselamatan raja, ia tidak dihiraukan oleh Sri Kertanegara, karenanya itu Mpu Raganata lalu meletakkan jabatan tak lagi menjadi Patih, diganti oleh Kebo Tengah Sang Apanji Aragani. Mpu Raganata lalu menjadi Adiyaksa di Tumapel.

Sri Kertanegara pada waktu memerintah, melenyapkan seorang kelana bernama Baya. Sesudah kelana itu mati, ia memberi perintah kepada hamba rakyatnya, untuk pergi menyerang Melayu. Apanji Aragani menghantarkan, sampai di Tuban ia kembali, sedatangnya di Tumapel Sang Apanji Aragani mempersembahkan makanan tiap tiap hari, raja Kertanegara bersenang senang. Ada perselisihannya dengan raja Jaya Katong, raja di Daha, ini menjadi musuh raja Kertanegara, karena lengah terhadap usaha musuh yang sedang mencari kesempatan dan ketepatan waktu, ia tidak memikir kesalahannya. Banyak Wide berumur 40 tahun pada peristiwa penyerangan Melayu itu, ia berteman dengan raja Jaya Katong, Banyak Wide yang bergelar Arya Wiraraja itu dari Madura, mengadakan hubungan dan berkirim utusan. Demikian juga raja Jaya Katong berkirim utusan ke Madura. Wiraraja berkirim surat kepada raja Jaya Katong, bunyi surat: “Tuanku, patik baginda bersembah kepada paduka raja, jika paduka raja bermaksud akan berburu di tanah lapang lama, hendaknyalah paduka raja sekarang pergi berburu, ketepatan dan kesempatan adalah baik sekali, tak ada bahaya, tak ada harimau, tak ada banteng, dan ularnya, durinya, ada harimau, tetapi tak bergigi.” Patih tua Raganata itu yang dinamakan harimau tak bergigi, karena sudah tua. Sekarang raja Jaya Katong berangkat menyerang Tumapel. Tentaranya yang datang dari sebelah utara Tumapel terdiri dari orang orang yang tidak baik, bendera dan bunyi bunyian penuh, rusaklah daerah sebelah utara Tumapel, mereka yang melawan banyak yang menderita luka. Tentara Daha yang melalui jalan utara itu berhenti di Memeling.
Batara Siwa Buda senantiasa minum minuman keras, diberi tahu bahwa diserang dari Daha, ia tidak percaya, selalu mengucapkan kata: “Bagaimana dapat raja Jaya Katong demikian terhadap kami, bukanlah ia telah baik dengan kami.” Setelah orang membawa yang menderita luka, barulah ia percaya. Sekarang Raden Wijaya ditunjuk untuk berperang melawan tentara yang datang dari sebelah utara Tumapel, disertai oleh para arya terkemuka: Banyak Kapuk, Rangga Lawe, Pedang Sora, Dangdi Gajah Pangon, anak Wiraraja yang bernama Nambi, Peteng dan Wirot, semua prajurit baik, melawan tentara Daha di bagian utara itu, dikejar diburu oleh Raden Wijaya. Kemudian turunlah tentara besar besar dari Daha yang datang dari tepi sungai Aksa, menuju ke Lawor, mereka ini tak diperbolehkan membikin gaduh, tidak membawa bendera, apalagi bunyi bunyian, sedatangnya di Sidabawana langsung menuju Singasari. Yang menjadi prajurit utama dari tentara Daha sebelah selatan ini, yalah: Patih Daha Kebo Mundarang, Pudot dan Bowong. Ketika Batara Siwa Buda sedang minum minuman keras bersama sama dengan patih, maka pada waktu itu ia dikalahkan, semua gugur, Kebo Tengah yang melakukan pembalasan, meninggal di Manguntur.

VI. Raden Wijaya yang diceritakan ke utara tersebut diberi tahu, bahwa Batara Siwa Buda wafat, karena tentara Daha turun dari selatan, patih tua juga telah gugur, semua mengikuti jejak batara. Segera Raden Wijaya kembali, beserta hamba hambanya, berlari lari ke Tumapel, melakukan pembalasan, tidak berhasil, bahkan terbalik, dikejar, diburu oleh Kebo Mundarang, Raden Wijaya naik keatas, mengungsi di Sawah Miring, maksud Kebo Mundarang akan menusuknya dengan tombak, Raden Wijaya menyepak tanah bekas di tenggala, dada Kebo Mundarang sampai mulanya penuh lumpur, ia mundur sambil berkata: “Aduh, memang sungguh dewalah tuanku ini.” Sekarang Raden Wijaya membagi bagi cawat kain ikat berwarna merah, diberikan kepada hamba hambanya, masing masing orang mendapat sehelai, ia bertekad untuk mengamuk. Yang mendapat bagian, yalah: Sora, Rangga Lawe, Pedang, Dangdi dan Gajah Sora, segera menyerang, banyak orang Daha yang mati. Kata Sora: “Sekarang ini, tuan, hendaknyalah menyerang, sekarang baik kesempatan dan saatnya.”

Raden Wijaya lekas lekas menyerang, semakin banyak orang Daha yang mati, mereka lalu mundur, diliputi malam, akhirnya berkubu. Pada waktu sunyi orang telah tidur, dikejar dan diamuk lagi oleh Raden Wijaya, sekarang orang orang Daha bubar, banyak yang tertusuk oleh tombak temannya sendiri, repotlah orang prang Daha itu larinya. Batara Siwa Buda mempunyai dua orang anak perempuan, mereka ini akan dikawinkan dengan Raden Wijaya, demikianlah maksud Batara Siwa Buda itu, kedua duanya ditawan oleh orang Daha, puteri yang muda berpisah dengan puteri yang tua, tidak menjadi satu arah larinya, berhubung dengan kerepotan orang Daha, disebabkan Raden Wijaya mengamuk itu. Pada waktu malam tampak api unggun orang Daha bernyala dan oleh Raden Wijaya, yang segera dikenal, bahwa itu adalah puteri yang tua. Lekas lekaslah diambil oleh Raden Wijaya, lalu berkata: “Nah, Sora, marilah mendesak mengamuk lagi, agar dapat bertemu dengan puteri muda.” Sora berkata: “Janganlah tuan, bukankah adik tuan yang tua sudah tuan temukan, berapakah jumlah hamba tuanku sekarang ini.” Jawab Raden Wijaya: “Justru karena itu.” Maka Sora berkata lagi: “Lebih baik tuanku mundur saja, karena kalau memaksa mengamuk, seandainya berhasil itu baik, kalau adik tuanku yang muda dapat ditemukan, kalau tidak dapat ditemukan, kita akan seperti anai anai menyentuh pelita.” Sekarang mereka mundur, puteri bangsawan didukung, semalam malaman mereka berjalan ke utara, keesokan harinya dikejar oleh orang Daha, terkejar disebelah selatan Talaga Pager. Orang orangnya ganti berganti tinggal dibelakang, untuk berperang, menghentikan orang Daha.

Gajah Pagon kena tombak tembus pahanya, tetapi masih dapat berjalan. Kata Raden Wijaya: “Gajah Pagon, masih dapatkah kamu berjalan, kalau tidak dapat, mari kita bersama sama mengamuk.” “masih dapatlah hamba, tuanku, hanya saja hendaknya perlahan lahan.” Orang orang Daha tidak begitu giat mengejarnya, kemudian mereka kembali di Talaga Pager. Raden Wijaya masuk belukar, keluar belukar seperti ayam hutan, dan hamba hambanya yang mengiring semua, ganti berganti mendukung puteri bangsawan. Akhirnya hamba hambanya bermusyawarah, membicarakan tentang keadaan Raden Wijaya. Setelah putus pembicaraannya, semuanya bersama sama berkata: “Tuanku, sembah hamba hamba tuanku semua ini, bagaimana akhir tuanku yang masuk belukar dan keluar belukar seperti ayam hutan itu, pendapat hamba semua, lebih baik tuanku pergi ke Madura Timur, hendaknyalah tuanku mengungsi kepada Wiraraja, dengan pengharapan agar ia dapat dimintai bantuan, mustahil ia tidak menaruh belas kasihan, bukankah ia dapat menjadi besar itu karena ayah tuanku almarhum yang menjadi lantarannya.”

Kata Raden: “Itu baik, kalau ia menaruh belas kasihan, kalau tidak, saya akan sangat malu.” Jawab Sora, Rangga Lawe dan Nambi serentak dengan suara bersama: “Bagaimana dapat Wiraraja melengos terhadap tuanku.” Itulah sebabnya Raden Wijaya menurut kata kata hambanya. Mereka keluar dari dalam hutan, datang di Pandakan, menuju ke orang tertua di Pandakan, bernama Macankuping.
Raden Wijaya minta diberi kelapa muda, setelah diberi, diminum airnya, ketika dibelah, ternyata berisi nasi putih. Heranlah yang melihat itu. Kata orang: “Ajaib benar, memang belum pernah ada kelapa muda berisi nasi.” Gajah Pagon tak dapat berjalan lagi, kata Raden Wijaya: “Orang tua di Pandakan, saya menitipkan satu orang, Gajah Pagon ini tidak dapat berjalan, hendaknyalah ia tinggal di tempatmu.”
Kata orang Pandakan: ” Aduh, tuanku. itu akan tidak baik kalau sampai terjadi Gajah Pagon didapati disini, mustahil akan ada hamba yang menyetujui di Pandakan, kehendak hamba, biarlah ia berada di dalam pondok di hutan saja, di ladang tempat orang menyabit ilalang, di tengah tengahnya setelah dibersihkan, dibuatkan sebuah dangau, sunyi, tad ada seorang hamba yang mengetahui, hamba di Pandakan nanti yang akan memberi makan tiap tiap hari.” Gajah Pagon lalu ditinggalkan, Raden Wijaya selanjutnya menuju ke Datar, pada waktu malam hari. Sesampainya di Datar, lalu naik perahu. Tentara Daha lalu kembali pulang. Puteri yang muda masih terus ditawan, dibawa ke Daha, dipersembahkan kepada raja Jaya Katong.Ia senang diberi tahu tentang Batara Siwa Buda wafat. Raden Wijaya menyeberang ke Utara, turun di daerah perbatasan Sungeneb, bermalam di tengah tengah sawah yang baru saja habis disikat, pematangnya tipis. Sora lalu berbaring meniarap, Raden Wijaya dan puteri bangsawan itu duduk diatasnya.

Pagi harinya melanjutkan perjalanannya ke Sungeneb, beristirahat di dalam sebuah balai panjang. hamba hamba disuruh melihat lihat, kalau kalau Wiraraja sedang duduk dihadap hamba hambanya. Kembalilah mereka yang disuruh itu, memang Wiraraja sedang dihadap. Berangkatlah raden Wijaya menuju tempat Wiraraja dihadap, terperanjatlah Wiraraja melihat Raden itu, Wiraraja turun, lalu masuk kedalam rumah, bubarlah yang menghadap. Terhenti hati Raden Wijaya, berkata kepada Sora dan Ranggalawe: “nah, apakah kataku, saya sangat malu, lebih baik aku mati pada waktu aku mengamuk dahulu itu.” Maka ia kembali ke balai panjang, kemudian Wiraraja datang menghadap, berbondong bondong dengan seisi rumah, terutama isterinya, bersama sama membawa sirih dan pinang. Kata Ranggalawe: “Nah, tuanku, bukankah itu Wiraraja yang datang menghadap kemari.” Maka senanglah hati Raden Wijaya. Isteri Adipati mempersembahkan sirih kepada Raden Wijaya. Wiraraja itu meminta, agar Raden Wijaya masuk di perumahan Adipati. Sang puteri bangsawan naik kereta, isteri Wiraraja semua berjalan kaki, mengiring puteri bangsawan itu, dan Wiraraja mengiring Raden Wijaya. Setelah datang di rumah tempat Wiraraja tidur. Raden Wijaya dihadap didalam balai nomor dua sebelah luar, ia menceriterakan riwayat bagaimana sang batara yang gugur ditengah tengah minum minuman keras itu meninggal dunia, juga menceriterakan bagaimana ia mengamuk orang Daha.

Berkatalah Wiraraja: “Sekarang ini, apakah yang menjadi kehendak tuan.” Raden Wijaya menjawab: “Saya minta persekutuanmu, jika sekiranya ada belas kasihanmu.” Sembah Wiraraja: “Janganlah tuanku khawatir, hanya saja hendaknya tuan bertindak perlahan lahan.” Selanjutnya Wiraraja mempersembahkan kain, sabuk dan kain bawah, semuanya dibawa oleh isteri isterinya, terutama isteri pertamanya. Kata Raden: “Bapa Wiraraja, sangat besar hutangku kepadamu, jika tercapailah tujuanku, akan kubagi menjadi dua tanah Jawa nanti, hendaknyalah kamu menikmati seperduanya, saya seperdua.” Kata Wiraraja: “bagaimana saja, tuanku, asal tuanku dapat menjadi raja saja.” Demikianlah janji Raden Wijaya kepada Wiraraja. Luar biasa pelayanan Wiraraja terhadap Raden Wijaya, tiap tiap hari mempersembahkan makanan, tak usah dikatakan tentang ia mempersembahkan minuman keras. Lamalah Raden Wijaya bertempat tinggal di Sungeneb. Disitu Arya Wiraraja berkata: “Tuanku hamba mengambil muslihat, hendaknya tuanku pergi menghamba kepada raja Jaya Katong, hendaknyalah tuan seakan akan minta maaf dengan kata kata yang mengandung arti tunduk, kalau sekiranya raja Jaya Katong tak berkeberatan, tuan menghamba itu, hendaknyalah tuan lekas lekas pindah bertempat tinggal di Daha, kalau rupanya sudah dipercaya, hendaknyalah tuan memohon hutan orang Terik kepada raja Jaya Katong, hendaknyalah tuan membuat desa disitu, hamba hamba Maduralah yang akan menebang hutan untuk dijadikan desa, tempat hamba hamba Madura yang menghadap tuanku dekat. Adapun maksud tuanku menghamba itu, agar supaya tuan dapat melihat lihat orang orang raja Jaya Katong, siapa yang setia, yang berani, yang penakut, yang pandai, terutama juga hendaknyalah tuan ketahui sifat sifat Kebo Mundarang, sesudah itu semua dapat diukur, hendaknyalah tuanku memohon diri pindah ke hutan orang Terik yang sudah dirubah menjadi desa oleh hamba hamba Madura itu, masih ada perlunya lagi, yalah: “Jika ada hamba hamba tuanku yang berasal dari Tumapel ingin kembali menghamba lagi kepada tuan, hendaknyalah tuan terima, meskipun hamba hamba dari Daha juga, jika mereka ingin mencari perlindungan kepada tuan, hendaknyalah tuan lindungi, jika semua itu sudah, maka tentara Daha tentu terkuasai oleh tuanku. Sekarang hamba akan berkirim surat kepada raja Jaya Katong.”

Berangkatlah orang yang disuruh mengantarkan surat, menyeberang ke selatan, menghadap raja Jaya Katong, mempersembahkan surat itu. Adapun bunyi surat: “Tuanku, patik baginda memberi tahu, bahwa cucu paduka baginda mohon ampun, ingin takluk kepada paduka baginda, hendaknyalah paduka baginda maklum, terserah apakah itu diperkenankan atau tidak diperkenankan oleh paduka tuan.” Kata Raja Jaya Katong: “Mengapa kami tidak senang, kalau buyung Arsa Wijaya akan menghamba kepada kami.” Selanjutnya disuruh kembalilah utusan itu untuk menyampaikan kata katanya. Setelah utusan datang lalu menyampaikan perintah. Surat telah dibaca dimuka Raden Wijaya dan dimuka dimuka Wiraraja. Wiraraja senang. Segera Raden Wijaya kembali ke Pulau Jawa, diiring oleh hamba hambanya, dihantarkan oleh orang orang Madura, dan Wiraraja juga enghantarkan kembali di Terung. Setelah datang di Daha, ia dengan tenteram dapat menghadap raja Jaya Katong, sangat dicintai.

Ketika ia datang di Daha, kebetulan tepat pada hari raya Galungan, hamba hambanya disuruh oleh raja untuk mengambil bagian didalam pertandingan, menteri menteri Daha sangat heran, karena orang orang itu baik semua, terutama Sora, Rangga Lawe, Nambi, Pedang dan Dangdi, mereka bersama sama lari ketempat pertandingan di Manguntur negara Daha. Bergantilah menteri menteri Daha lari, diantaranya yang merupakan perjurit utama, yalah: Panglet, Mahisa Rubuh dan Patih Kebo Mundarang, mereka ketiga tiganya kalah cepat larinya dengan Rangga Lawe dan Sora. Lama kelamaan Raja Jaya Katong mengadakan pertandingan tusuk menusuk, “Puteraku Arsa Wijaya, hendaknyalah kamu ikut bermain tusuk menusuk, kami ingin melihat, menteri menteri kamilah yang akan menjadi lawanmu.” Jawab Raden Wijaya: “Baiklah tuanku.” Bertandinglah mereka tusuk menusuk itu, riuh rendah suara bunyi bunyian, orang yang melihat penuh tak ada selatnya, orang orang raja Jaya Katong sering kali terpaksa lari.

Kata raja Jaya Katong: “Pintalah buyung Arsa Wijaya, jangan ikut serta, siapakah yang berani melawan tuannya.” Raden Wijaya berhenti, kini sepadanlah pertandingan tusuk menusuk itu, kejar mengejar, kemudian Sora menuju ke arah Kebo Mundarang, Rangga Lawe menuju Panglet dan Nambi menuju ke Mahisa Rubuh, akhirnya terpaksa lari menteri menteri Daha itu menghadapi orang orang Raden Wijaya, tak ada yang mengadakan pembalasan, lalu bubar. Sekarang Raden Wijaya telah melihat, bahwa menteri menteri Daha dikalahkan oleh orang orangnya. Lalu ia berkirim surat kepada Wiraraja, selanjutnya Wiraraja menyampaikan pesan, agar Raden Wijaya memohon hutan orang Terik.
Raja Jaya Katong memperkenankan. Inilah asal usul orang mendirikan desa di hutan orang Terik. Ketika desa sedang dibuat oleh orang orang Madura, ada orang yang lapar karena kurang bekalnya pada waktu ia menebang hutan, ia makan buah maja, merasa pahit, semua dibuanglah buah maja yang diambilnya itu, terkenal ada buah maja pahit rasanya, tempat itu lalu diberi nama Majapahit. Raden Wijaya telah dapat memperhitungkan keadaan Daha. Majapahit telah berupa desa. Orang orang Wiraraja yang mengadakan hubungan dengan Daha, beristirahat di Majapahit.

Wiraraja berkirim pesan kepada Raden Wijaya, bagaimana caranya memohon diri kepada raja Jaya Katong. Sekarang Raden Wijaya meminta ijin pindah ke Majapahit. Raja Jaya Katong memperkenankannya, lengah karena rasa sayang dan karena kepandaian Raden Wijaya menghamba itu, seperti sungguh sungguh.
Setelah Raden Wijaya pindah ke Majapahit, lalu memberi tahu kepada Wiraraja, bahwa menteri menteri Daha telah dapat dikuasai olehnya dan oleh hamba hambanya semua. Raden Wijaya mengajak Wiraraja menyerang Daha, Wiraraja menahan, berkata kepada utusannya: “Jangan tergesa gesa, masih ada muslihat saya lagi, hendaknyalah kamu wahai utusan, bersembah kepada tuanmu, saya ini berteman dengan raja Tatar, itu akan kutawari puteri bangsawan, hendaknyalah kamu utusan, pulang ke Majapahit sekarang. Sepergimu saya akan berkirim surat ke Tatar. Ada perahuku, itu akan saya suruh ikut serta ke Tatar, agar supaya menyampaikan ajakan menyerang Daha. Jika raja Daha telah kalah, maka seluruh pulau Jawa tak ada yang menyamai, itu nanti dapat dimiliki oleh raja Tatar, demikian itu penipuanku terhadap raja Tatar. Hendaknyalah kamu memberi tahu kepada Sang Pangeran, bahwasanya ini agar supaya raja itu mau ikut serta mengalahkan Daha.”

Utusan pulang kembali ke Majapahit, Raden Wijaya senang diberi tahu semua pesan Wiraraja itu. Sesudah utusan kembali, Wiraraja lalu berkirim utusan ke Tatar. Wiraraja pindah ke Majapahit, seisi rumah dan membawa tentara dari Madura, yalah semua orang Madura yang baik dibawa beserta senjatanya.
Setelah utusan datang dari Tatar, lalu menyerang Daha. Tentara Tatar keluar dari sebelah utara, tentara Madura dan Majapahit keluar dari timur, Raja Katong bingung, tak tahu mana yang harus dijaga. Kemudian diserang dengan hebat dari utara oleh tentara Tatar. Kebo Mundarang, Panglet dan Mahisa Rubuh menjaga tentara dari timur. Panglet mati oleh Sora, Kebo rubuh mati oleh Nambi, Kebo Mundarang bertemu dengan Rangga Lawe, terpaksa larilah Kebo Mundarang, dapat dikejar di lembah Trinipati, akhirnya mati oleh Rangga Lawe, Kebo Mundarang berpesan kepada Rangga Lawe: “Wahai Rangga Lawe, saya mempunyai seorang anak perempuan, hendaknyalah itu diambil oleh Ki Sora sebagai anugerah atas keberaniannya.” Raja Jaya Katong yang bertempur ke Utara, bersenjatakan perisai, diserang bersama sama oleh orang orang Tatar, akhirnya tertangkap dan dipenjara oleh orang Tatar.

Raden Wijaya lekas lekas masuk kedalam istana Daha, untuk melarikan puteri bangsawan yang muda, lalu dibawa ke Majapahit, sedatangnya di Majapahit orang orang Tatar datang untuk meminta puteri puteri bangsawan, karena Wiraraja telah menyanggupkan itu, jika Daha telah kalah, akan memberikan dua orang puteri bangsawan yang berasal dari Tumapel, kedua duanya semua. Maka bingunglah para menteri semua, mencari cari kesanggupan lain, Sora berkata: “Nah, saya saja yang akan mengamuk bilamana orang orang Tatar datang kemari.” Arya Wiraraja menjawab: “Sesungguhnya, wahai buyung Sora, masih ada muslihatku lagi.” Maka dicari dicarilah kesanggupan kesanggupan. Itulah yang dimusyawarahkan oleh menteri menteri. Sora menyatakan kesanggupannya: ” Tak seberapa kalau saya mengamuk orang orang Tatar.” Pada waktu sore hari, waktu matahari sudah condong ke barat, orang orang Tatar datang meminta puteri puteri bangsawan. Wiraraja menjawab: “Wahai, orang orang Tatar semua, janganlah kamu kalian tergesa gesa, puteri puteri raja itu sedang sedih, karena telah cemas melihat tentara tentara pada waktu Tumapel kalah, lebih lebih ketika Daha kalah, sangat takut melihat segala yang serba tajam. Besok pagi saja mereka akan diserahkan kepada kamu, ditempatkan kedalam kotak, diusung, dihias dengan kain kain, dihantarkan ke perahumu, sebabnya mereka ditempatkan didalam peti itu, karena mereka segan melihat barang barang yang tajam, dan yang menerimanya puteri puteri bangsawan itu, hendaknyalah jangan orang Tatar yang jelek, tetapi orang orang yang bagus jangan membawa teman, karena janji puteri puteri bangsawan itu, kalau sampai terjadi melihat yang serba tajam, meskipun sudah tiba diatas perahu, mereka akan terjun kedalam air, bukankah akan sia sia saja, bahwasanya kalian telah mempertaruhkan jiwa itu, jika puteri puteri bangsawan ini sampai terjadi terjun kedalam air.”

Percayalah orang orang Tatar, ditipu itu. Kata seorang Tatar: “Sangat betul perkataan tuan.” Sesudah datang saat perjanjian menyerahkan puteri puteri bangsawan itu, orang orang Tatar datang berbondong bondong meminta puteri puteri bangsawan, semua tak ada yang membawa senjata tajam. Setelah mereka masuk kedalam pintu Bayangkara, orang orang Tatar itu ditutupi pintu, dikunci dari luar dan dari dalam, Sora telah menyisipkan keris pada pahanya. Sekonyong konyong orang orang Tatar diamuk oleh Sora, habis, mati semua. Ranggalawe mengamuk kepada mereka yang berada di luar balai tempat orang menghadap, dikejar sampai ketempat kemana saja mereka lari, kemuara Canggu, diikuti dan dibunuh. Kira kira sepuluh hari kemudian, mereka yang pergi berperang, datang dari Malayu, mendapat dua orang puteri, yang seorang dikawin oleh Raden Wijaya, yalah yang bernama Raden Dara Pethak, adapun yang tua bernama Dara Jingga, kawin dengan seorang Dewa, melahirkan seorang anak laki laki menjadi raja di Malayu, bernama Tuhan Janaka, nama nobatannya: Sri Warmadewa alias Raja Mantrolot. Peristiwa Malayu dan Tumapel itu bersamaan waktunya pada tahun Saka: Pendeta Sembilan Bersamadi atau 1197. Raja Katong naik diatas tahta kerajaan di Daha pada tahun Saka: Ular Muka Dara Tunggal atau 1198. Setelah Raka Katong datang di Junggaluh ia mengarang kidung: Wukir Polaman, selesai mengarang kidung ia wafat.

VII. Sekarang Raden Wijaya menjadi raja pada tahun Saka: Rasa Rupa Dua Bulan atau 1216. Kemudian ia mempunyai seorang anak laki laki dari Dara Pethak, nama kesatriyannya: Raden Kalagemet. Adapun dua orang anak perempuan Batara Siwa Buda, yang dibayang bayangkan kepada orang Tatar, keduanya itu juga dikawin oleh Raden Wijaya, yang tua menjadi ratu di Kahuripan, yang muda menjadi ratu di Daha. Nama nobatan Raden Wijaya pada waktu menjadi raja: Sri Kertarajasa. Didalam tahun pemerintahannya ia mendapat penyakit bisul berbengkak. Ia wafat di Antapura, wafat pada tahun 1257.

VIII. Raden Kalagemet menggantikannya menjadi raja, nama nobatannya: Batara Jayanagara. Sri Siwa Buda dicandikan di Tumapel, nama resmi candi: Purwa Patapan. Berdiri candi itu berselat 17 tahun dengan peristiwa Ranggalawe. Ranggalawe akan dijadikan patih, tetapi urung, itulah sebabnya maka ia mengadakan pemberontakan di Tuban, dan mengadakan perserikatan dengan kawan kawannya. Telah terjadi orang orang Tuban di gunung sebelah utara dimasukkan didalam perserikatannya , mereka itu semua menaruh perhatian kepada Ranggalawe. Nama orang orang yang menyetujuinya, yalah: Panji Marajaya, Ra Jaran Waha, Ra Arya Sidi, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Galatik, Ra Tati, mereka itu teman teman Ranggalawe pada waktu berontak. Adapun sebabnya ia pergi dari Majapahit itu, merebut kedudukan, Mahapati menjalankan fitnah dengan bahan kata kata Ranggalawe: “Jangan banyak bicara, didalam kitab Partayadnya ada tempat untuk penakut penakut.” Setelah terdengar, bahwa Ranggalawe berontak, Mahapatih-lah yang memberi memberi tahu hal itu, maka raja Jayanagara marah, semua teman teman Ranggalawe didalam pemberontakan itu mati, hanya Ra Gelatik yang masih hidup, karena ia disuruh berbalik hati. Peristiwa Ranggalawe itu pada tahun saka: Kuda Bumi Sayap Orang, atau 1217.

Wiraraja memohon diri untuk bertempat tinggal di Lamajang, yang luasnya tiga daerah juru, karena Raden Wijaya telah berjanji akan membagi dua Pulau Jawa, dan akan menganugerahkan daerah lembah Lumajang sebelah selatan dan utara beserta daerah tiga juru. Telah lama itu dinikmati oleh Wiraraja, Nambi masih menjadi patih, Sora menjadi Demung dan Tipar menjadi Tumenggung. Tumenggung pada waktu itu lebih rendah dari pada Demung. Wiraraja tidak kembali ke Majapahit, ia tidak mau menghamba. Setelah berselat tiga tahun dari peristiwa Ranggalawe maka terjadilah peristiwa Sora. Sora difitnah oleh Mahapati, dan Sora ini dapat dilenyapkan, dibunuh oleh Kebo Mundarang, pada tahun saka: Baba Tangan Orang atau 1222.

Juga Nambi difitnah oleh Mahapati, jasa jasa perangnya tidak diperhatikan, pada waktu ia melihat saat yang tepat dan baik, ia memohon diri untuk meninjau Wiraraja yang menderita sakit. Sri Jayanagara memberi ijin, hanya saja tidak diperkenankan pergi lama lama. Nambi tak datang kembali, menetap di Lembah, mendirikan benteng, menyiapkan tentara. Wiraraja meninggal dunia. Sri Jayanagara menjadi raja, lamanya dua tahun. Ada peristiwa gunung meletus, yalah gunung Lungge pada tahun saka: Api Api Tangan Satu atau : 1233. Selanjutnya terjadi peristiwa Juru Demung, berselat dua tahun dengan peristiwa Sora. Juru Demung mati pada tahun saka: Keinginan Sifat Sayap Orang, atau: 1235. Lalu terjadi peristiwa Gajah Biru pada tahun saka: Rasa Sifat Sayap Orang atau: 1236. Selanjutnya terjadi peristiwa Mandana, Jayanagara berangkat sendiri untuk melenyapkan orang orang Mandana. Sesudah itu ia pergi ke timur untuk melenyapkan Nambi. Nambi diberi tahu, bahwa Juru Demung sudah mati, demikian pula patih pengasuh, Tumenggung Jaran Lejong, menteri menteri pemberani semua sudah mati, gugur di medan perang.

Nambi berkata: “Kakak Samara, Ki Derpana, Ki Teguh, Paman Jaran Bangkal, Ki Wirot, Ra Windan, Ra Jangkung, jika dibanding banding, orang orang disebelah timur ini, tak akan kalah, apalagi setelah mereka sudah rusak itu, siapa lagi yang menjadi teras orang orang sebelah barat, apakah Jabung Terewes, Lembu Peteng atau Ikal Ikalan Bang, saja tak akan gentar, biar selaksa semacam itu didepan dan dibelakang, akan kuhadapi pula seperti perang di Bubat.” Setelah orang orang Majapahit datang, dan Nambi pergi ke selatan, maka Ganding rusak, piyagamnya dapat dirampas, Nambi dikejar kejar dan didesak, Derpana, Samara, Wirot Made, Windan, Jangkung mulai bertindak, terutama Nambi, ia mengadakan serangan pertama tama. seakan akan tercabutlah orang orang Majapahit, tak ada yang mengadakan perlawanan. Jabung Terewes, Lembu Peteng dan Ikal Ikalan Bang lalu bersama sama menyerang Nambi, Nambi gugur, demikian pula teman teman Nambi yang menyerang tadi gugur semua, patahlah perlawanan di Rabut Buhayabang, orang orang disebelah timur itu mencabut payung kebesarannya, daerah Lumajang kalah pada tahun saka: Ular Menggigit Bulan, atau: 1238. Peristiwa Wagal dan Mandana itu bersamaan waktunya. Berselat dua tahun Peristiwa Wagal dengan peristiwa Lasem. Semi dibunuh, ia mati dibawah pohon kapuk, pada tahun saka: Bukan Kitab Suci Sayap Orang, atau: 1240.

Sesudah itu terjadi peristiwa Ra Kuti. Ada dua golongan Darmaputra Raja, mereka ini dahulunya adalah pejabat pejabat yang diberi anugerah raja, banyaknya tujuh orang, bernama: Kuti, Ra Pangsa, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tanca dan Ra Banyak. Ra Kuti dan Ra Semi dibunuh, karena difitnah oleh Mahapati, akhirnya Mahapati diketahui melakukan fitnahan, ia ditangkap, dan dibunuh seperti seekor babi hutan, dosanya akan pergi sendiri ke Bedander. Ia pergi pada waktu malam, tak ada orang tahu, hanya orang orang Bayangkara mengiringkannya, semua yang kebetulan mendapat giliran menjaga pada waktu raja pergi itu, banyaknya 15 orang, pada waktu itu Gajah Mada menjadi Kepala Bayangkara dan kebetulan juga sedang menerima giliran menjaga, itulah sebabnya ia mengiring raja pada waktu raja pergi dengan menyamar itu. Lamalah raja tinggal di Bedander. Adalah seorang pejabat, ia memohon ijin akan pulang kerumahnya, tidak diperbolehkan oleh Gajah Mada, karena jumlah orang yang mengiring raja hanya sedikit, ia memaksa akan pulang, lalu ditusuk oleh Gajah Mada, maksud ia menusuk itu, yalah: “jangan jangan ia nanti memberi tahu, bahwa raja bertempat tinggal dirumah kepala desa Bedander, sehingga Ra Kuti, sehingga Ra Kuti dapat mengetahuinya. Kira kira lima hari kemudiannya Gajah Mada memohon ijin untuk pergi ke Majapahit.

Sedatangnya di Majapahit, Gajah Mada ditanyai oleh para Amanca Negara tentang tempat raja, ia mengatakan, bahwa raja telah diambil oleh teman teman Kuti.
Orang orang yang diberi tahu semuanya menangis, Gajah Mada berkata: “Janganlah menangis, apakah tuan tuan tidak ingin menghamba kepada Ra Kuti.” Menjawablah yang diajak berbicara itu: “Apakah kata tuan itu, Ra Kuti bukan tuan kami.” Akhirnya Gajah Mada memberi tahu bahwa raja berada di Bedander, Gajah Mada lalu mengadakan persetujuan dengan para menteri, mereka semua sanggup membunuh Ra Kuti, dan Ra Kuti mati dibunuh. Raja pulang dari Bedander, kepala desa ditinggalkan, selanjutnya ia menjadi orang yang terkenal pada waktu itu. Sesudah raja pulang, maka Gajah Mada tak lagi menjadi Kepala orang orang Bayangkara, dua bulan lamanya ia mendapat cuti dibebaskan dari kewajiban, ia dipindah menjadi Patih di Kahuripan, dua tahun lamanya menjadi patih itu. Sang Arya Tilam, patih di Daha meninggal dunia, Gajah Mada menggantinya, ditempatkan menjadi patih di Daha, patih Mangkubumi Sang Arya Tadah menyetujui, ialah yang menyokong Gajah Mada menjadi patih di Daha itu.
Raja Jayanagara mempunyai dua orang saudara perempuan, lain ibu, mereka tak diperbolehkan kawin dengan orang lain, akan diambil sendiri. Pada waktu itu tak ada kesatriya di Majapahit, tiap tiap kesatriya yang tampak lalu dilenyapkan, jangan jangan ada yang mengingini adiknya itu, itulah sebabnya maka kesatriya kesatriya bersembunyi tidak keluar. Isteri Tanca menyiarkan berita, bahwa ia diperlakukan tidak baik oleh raja. Tanca dituntut oleh Gajah Mada. Kebetulan raja Jayanegara menderita sakit bengkak, tak dapat pergi keluar, Tanca mendapat perintah untuk melakukan pembedahan dengan taji, ia menghadap didekat tempat tidur. Raja ditusuk oleh Tanca dengan taji sekali dua kali, tidak makan tajinya, lalu raja diminta agar supaya meletakkan jimatnya, ia meletakkan jimatnya didekat tempat tidur, ditusuk oleh Tanca, tajinya makan, diteruskan ditusuk oleh Tanca, sehingga mati ditempat tidur itu.

Tanca segera dibunuh oleh Gajah Mada, matilah Tanca. Berselat sembilan tahunlah peristiwa Kuti dan peristiwa Tanca itu, pada tahun saka: Abu Unsur memukul Raja atau: 1250. Raja dicandikan di Kapopongan, nama resmi candi itu: Srenggapura, arcanya di Antawulan. Pada waktu itu para kesatriya menginjakkan kaki di Majapahit lagi. Raden Cakradara dipilih pada sayembara menjadi suami seri ratu di Kahuripan. Raden Kuda Merta kawin dengan seri ratu di Daha. Raden Kuda Merta menjadi raja di Wengker, Sri Paduka Prameswara di Pamotan, nama nobatannya: Sri Wijayarajasa. Adalah anak Raden Cakradara, menjadi raja di Tumapel, nama nobatannya Sri Kertawardana.

IX. Sri Ratu di kahuripan menjadi raja pada tahun saka: Sunyi Keinginan Sayap Bumi, atau: 1250. Seri Ratu di Kahuripan itu mempunyai tiga orang anak, yalah: Batara Prabu, panggilannya Seri Hayam Wuruk, Raden tetep, sebutannya jika ia bermain kedok: Dalang Tritaraju, jika ia bermain wayang dan melawak: Gagak Ketawang, di kalangan pemeluk agama Siwa: Mpu Janeswara, nama nobatannya Seri Rajasa Nagara, sebagai Prabu: Seri Baginda Sang Hyang Wekasing Suka. Adiknya perempuan kawin dengan raden Larang, yang juga disebut Baginda di Matahun, tidak mempunyai anak, adiknya yang bungsu, yalah: Seri ratu di Pajang, kawin dengan Raden Sumana, yang juga disebut Baginda di Paguhan, ini adalah saudara sepupu Seri Ratu di Kahuripan. Isteri Baginda di Gundal, dicandikan di Sajabung, nama resmi candi itu: Bajra Jina Parimita Pura. Selanjutnya terjadi peristiwa Sadeng. Tadah yang menjadi patih Mangkubumi menderita sakit, sering sekonyong konyong tak berkuasa menghadap, memajukan permohonan kehadapan Paduka batara untuk diijinkan berhenti, tidak dikabulkan oleh Seri Ratu di Kahuripan, Sang Arya Tadah kembali pulang, memanggil Gajah Mada, mengadakan pembicaraan di ruang tengah, Gajah Mada diminta menjadi Patih di Majapahit, meskipun tidak berpangkat Mangkubumi: “Saya akan membantu didalam soal soal yang luar biasa,”
Gajah Mada berkata: ” Anaknda tidak sanggup jika menjadi patih sekarang ini, jika sudah kembali dari Sadeng, hamba mau menjadi patih, itupun jika tuan suka memaafkan segala kekurangan kemampuan anaknda ini.” “Nah, buyung, saya akan membantu didalam segala kesukaran, dan didalam soal soal yang luar biasa.”

Sekarang besarlah hati Gajah Mada, mendengar kesanggupan sang Arya Tadah itu. kini ia berangkat ke Sadeng. Para menteri araraman dibohongi, juga patih Mangkubumi juga kena tipu, bahwasanya Kembar telah lebih dahulu mengepung Sadeng. Mangkubumi marah, memberi perintah kepada menteri luar, banyak mereka yang berangkat lima satuan, dikepalai oleh bekel, masing masing satuan terdiri dari lima orang. Kembar dijumpai didalam hutan, mereka berdiri diatas pohon yang roboh, berayun ayun seperti orang naik kuda sambil melambai lambaikan cambuk kepada mereka yang menyuruh agar Kembar kembali dan tidak melanjutkan perjalanan. Disampaikanlah pesan dari para menteri semua, terutama juga dari gusti patih Mangkubumi, menyuruh agar Kembar kembali, karena dikhabarkan mendahului mengepung orang orang Sadeng. Dicambuklah muka orang yang menyuruh kembali, tidak kena karena berlindung dibalik pohon, Kembar lalu berkata: “Tidak ada orang yang diindahkan oleh Kembar ini, didalam perang saja tidak mau mengindahkan tuanmu itu.” Pergilah yang mendapat perintah untuk menyuruh kembali tadi, dan memberi tahu semua yang dikatakan oleh Kembar.

Gajah Mada diam, merasa sangat diperolok olok, orang orang Sadeng dikepung, Tuhan Waruju seorang Dewa Putera dari Pamelekahan, jikalau membunyikan cambuk, terdengar di ruang angkasa, terperanjat orang Majapahit. Segera Sang Sinuhun tadi datang, mengalahkan Sadeng. Peristiwa Tanca dan Sadeng itu berselat tiga tahun, pada tahun saka: Tindakan Unsur Lihat Daging, atau: 1256. Setelah Kembar kembali dari Sadeng, lalu menjadi bekel araman, Gajah Mada menjadi Angabehi, Jaran Baya, Jalu, Demang Bucang, Gagak Nunge, Jenar dan Arya Rahu mendapat pangkat, Lembu Peteng menjadi Tumenggung. Gajah Mada menjadi patih Mangkubumi, tidak mau mengambil istirahat, Gajah Mada berkata: “Jika pulau pulau diluar Majapahit sudah kalah, saya akan istirahat, nanti kalau sudah kalah Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah saya menikmati masa istirahat.” Pada waktu itu para menteri sedang lengkap duduk menghadap di balai penghadapan. Kembar memperolok olok Gajah Mada dengan menyebut kesalahan kesalahan dan kekurangan kekurangannya, dan menumpahkan telempak, Ra banyak ikut serta menambah mengemukakan celaan celaan. Jabung Terewes, Lembu Peteng tertawa. lalu Gajah Mada turun mengadukan soal itu kehadapan batara di Koripan, baginda marah, kemarahan dan penghinaan ini disampaikan kepada Arya Tadah.
Dosa Kembar telah banyak, Warak dilenyapkan, tak dikatakan pada Kembar, mereka mati semua.

X. Selanjutnya terjadi peristiwa orang orang Sunda di Bubat. Seri Baginda Prabu mengingini puteri Sunda. Patih Madu mendapat perintah menyampaikan permintaan kepada orang Sunda, orang Sunda tidak berkeberatan mengadakan pertalian perkawinan. Raja Sunda datang di Majapahit, yalah Sang Baginda Maharaja, tetapi ia tidak mempersembahkan puterinya. Orang Sunda bertekad berperang, itulah sikap yang telah mendapat sepakat, karena Patih Majapahit keberatan jika perkawinan dilakukan dengan perayaan resmi, kehendaknya yalah agar puteri Sunda itu dijadikan persembahan. Orang Sunda tidak setuju. Gajah Mada melaporkan sikap orang orang Sunda. Baginda di Wengker menyatakan kesanggupan: “jangan khawatir, kakak Baginda, sayalah yang akan melawan berperang.” Gajah Mada memberitahu tentang sikap orang Sunda. Lalu orang Majapahit berkumpul, mengepung orang Sunda. Orang Sunda akan mempersembahkan puteri raja, tetapi tidak diperkenankan oleh bangsawan bangsawannya, mereka ini sanggup gugur dimedan perang di Bubat, tak akan menyerah, akan mempertaruhkan darahnya. Kesanggupan bangsawan bangsawan itu mengalirkan darah, para terkemuka pada fihak Sunda yang bersemangat, yalah: Larang Agung, Tuhan Sohan, Tuhan Gempong, Panji Melong, orang orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuhan Usus, Tuhan Sohan, Orang Pangulu, Orang Saja, Rangga Kaweni, Orang Siring, Satrajali, Jagadsaja, semua rakyat Sunda bersorak. Bercampur dengan bunyi bende, keriuhan sorak tadi seperti guruh. Sang Prabu Maharaja telah mendahului gugur, jatuh bersama sama dengan Tuhan Usus.

Seri Baginda Parameswara menuju ke Bubat, ia tidak tahu bahwa orang orang Sunda masih banyak yang belum gugur, bangsawan bangsawan, mereka yang terkemuka lalu menyerang, orang Majapahit rusak. Adapun yang mengadakan perlawanan dan melakukan pembalasan, yalah: Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, dan Jaran Baya. Semua menteri araman itu berperang dengan naik kuda, terdesaklah orang Sunda, lalu mengadakan serangan ke selatan dan ke barat, menuju tempat Gajah Mada, masing masing orang Sunda yang tiba dimuka kereta, gugur, darah seperti lautan, bangkai seperti gunung, hancurlah orang orang Sunda, tak ada yang ketinggalan, pada tahun saka: Sembilan Kuda Sayap Bumi, atau: 1279. Peristiwa Sunda itu bersama sama dengan peristiwa Dompo. Sekarang Gajah Mada menikmati masa istirahat, sebelas tahun ia menjadi Mangkubumi. Berhubung dengan puteri Sunda itu mati, maka Batara Prabu lalu kawin dengan anak perempuan Baginda Prameswara, yalah: Paduka Sori, dari perkawinan itu lahirlah seorang anak perempuan, yalah Seri Ratu di Lasem Sang Ayu, dari perkawinannya dengan isteri lain, lahirlah baginda di Wirabumi, yang diambil menjadi anak angkat Seri Ratu di Daha.

Seri ratu di Pajang mempunyai tiga orang anak: Seri Baginda Hyang Wisesa, nama kesatriyannya Raden Gagak Sali, namanya sebagai Raja Aji Wikrama, kawin dengan Seri Ratu di Lasem yalah: Sang Ayu, lalu mempunyai seorang anak, yalah: Seri Baginda Wekasing Suka, anak yang kedua perempuan, yalah: Seri Ratu di Lasem Sang Alemu, kawin dengan baginda di Wirabumi, adapun anak yang ketiga juga perempuan, menjadi Seri ratu di Kahuripan. Ada lagi anak Baginda di Tumapel, nama kesatriyannya Raden Sotor, menjadi hino di Koripan, lalu pindah menjadi hino di Daha, selanjutnya menjadi hino di Majapahit, ini mempunyai seorang anak laki laki, yalah: Raden Sumirat, kawin dengan Seri Ratu di Kahuripan dan menjadi raja dengan sebutan Baginda di Pandan Salas. Lalu terjadi peristiwa upacara selamatan roh nenek moyang yang dinamakan Srada Agung, pada tahun saka: Empat Ular Dua Tunggal, atau: 1284. Sang Patih Gajah Mada wafat pada tahun saka: Langit Muka Mata Bulan, atau 1290, tiga tahun lamanya tak ada yang mengganti menjadi patih. Gajah Enggon menjadi patih pada tahun saka: Sifat Sembilan Sayap Orang, atau: 1293. Seri Ratu di Daha wafat, dicandikan di Adilangu, nama resmi candi itu Gunung Purwawisesa.
Seri Ratu di kahuripan wafat, dicandikan di Panggih, nama resmi candinya Gunung Pantarapura. Selanjutnya terjadi peristiwa gunung baru pada tahun saka: Ular Liang Telinga Orang, atau: 1208. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus, pada minggu Madasia, tahun saka: Pendeta Sunyi Sifat Tunggal, atau: 1307. Baginda di Tumapel wafat, ia wafat di Suniyalaya pada tahun saka: Gajah Sunyi Tindakan Ekor, atau” 1308, dicandikan di Japan, nama resmi candi itu Sarwa Jaya Purwa. Baginda Hyang Wisesa mempunyai anak,
(1) Seri Baginda di Tumapel.
(2) Perempuan, yalah: Seri Ratu Prabu-stri, yang lalu mempunyai nama nobatan: Dewi Suhita.
(3) Bungsu laki laki, yalah: Baginda di Tumapel alias Sri Kerta Rajasa.
Baginda di Pandan Salas mempunyai anak.
(1) Baginda di Koripan, alias Baginda Hyang Prameswara, nama nobatannya Aji Ratna Pangkaja, kawin dengan Seri Ratu Prabu-stri, tidak berputera.
(2) Perempuan, Sang ratu Ratu di Mataram, yang kawin dengan Baginda Hyang Wisesa.
(3) Perempuan, Sang ratu di Lasem, yang kawin dengan Baginda di Tumapel.
(4) Perempuan lagi, Sang Ratu di Matahun.

Baginda di Tumapel mempunyai anak laki laki, menjadi raja di Wengker, kawin dengan Seri ratu di Matahun, anak kedua menjadi raja di Paguhan, anak ketiga lahir dari isteri muda, perempuan, yalah: Seri Ratu di Jagaraga, kawin dengan Baginda Parameswara, tidak beranak, anak kelima, yalah: Sang ratu di Pajang, juga kawin dengan Baginda di Paguhan, jadi dibayuh sama sama saudara, tidak mempunyai anak.
Baginda di Keling kawin dengan Seri ratu di Kembang Jenar. Anak laki laki Baginda di Wengker, yalah Baginda di Kabalan. Baginda di Paguhan mempunyai anak dari isteri kelahiran golongan kesatriya, perempuan yalah: Sang ratu di Singapura, kawin dengan Baginda di Pandan Salas. Baginda Prameswara di Pamotan, wafat pada tahun saka: Langit Rupa Menggigit Bulan, atau: 1310, ia dicandikan di Manyar, nama resmi candinya Wisnu Bawana Pura. Seri ratu di Matahun wafat, dicandikan di Tiga Wangi, nama resmi candi itu Kusuma Pura. Paduka Sori wafat. Sang ratu di Pajang wafat, dicandikan di Embul, nama resmi candi Girindra Pura. Baginda di Paguhan wafat, dicandikan di Lobencal, nama resmi candi Parwa Tiga Pura. Baginda Hyang Wekasing Suka, wafat pada tahun saka: Bumi Rupa Ayah Ibu, atau 1311.

XI. Baginda Hyang Wisesa dinobatkan menjadi raja. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Prangbakat, pada tahun saka: Muka Orang Tindakan Ular, atau : 1317. Selanjutnya Gajah Enggon meninggal dunia pada tahun saka: Sunyi Sayap Tindakan Orang, atau: 1320. ia menjadi patih 27 tahun lamanya. Baginda Hyang Wekasing Suka mengangkat Gajah Manguri menjadi patih. Baginda Hyang Wekasing Suka wafat, ia wafat di Indra Bawana, pada tahun saka: Orang Mata Api Bulan, atau 1321, dicandikan di Tanjung, nama resmi candi Parama Suka Pura.Baginda Hyang Wisesa menjadi pendeta pada tahun saka: Mata Sayap api Bulan, atau: 1322.

XII. Seri Ratu Batara Isteri dinobatkan menjadi Raja. Sang ratu di Lasem wafat di Kawidyadaren, dicandikan di Pabangan, nama resmi candi: Laksmi Pura. Sang Ratu di Kahuripan wafat. Sang Ratu di Lasem yalah Sang ratu Gemuk wafat. Baginda di Pandan Salas wafat, dicandikan di Jinggan, nama resmi candi Sri Wisnu Pura. Baginda Hyang Wisesa bercekcok dengan Baginda Wirabumi, mereka segan bersama sama berbicara, saling diam mendiamkan, akhirnya berpisah sampai itu terjadi pada tahun saka 1323. Tiga tahun kemudian lalu terjadi lagi huru hara. Kedua duanya mengumpulkan orang orangnya, Baginda di Tumapel dan baginda Hyang Prameswara diminta datang. “Siapakah yang harus kami ikuti.” maka terjadilah perang malang. Ia masgul dan bertekad akan pergi.
Baginda “jangan tergesa gesa pergi, sayalah yang akan melawan.” Baginda Hyang Wisnu menurut dan mengumpulkan orang orangnya lagi, dihulubalangi oleh Baginda di Tumapel. di daha diambil oleh baginda Hyang Wisesa, dibawa keatas perahu, dikejar oleh Raden Gajah yang mempunyai nama nobatan Ratu Angabaya, baginda Narapati. Terkejar didalam perahu, dibunuh, dipenggal kepalanya, dibawa ke Majapahit, dicandikan di Lung, nama resmi candinya Gorisa, pada tahun saka: Ular Sifat Menggigit Bulan, atau: 1328, pada tahun itu terjadi huru hara ini. Empat tahun kemudiannya Gajah Manguri meninggal dunia pada tahun saka: Sayap Sifat Tindakan Orang, atau : 1332. Gajah Lembaga menjadi patih, lamanya 12 tahun.
Selanjutnya terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Julung Pujut, pada tahun saka: Tindakan Kitab Suci Sifat Orang, atau: 1343. Gajah Lembana meninggal dunia pada tahun saka: Api Api Tindakan Bumi, atau: 1335. Tuhan Kanaka menjadi patih lamanya 3 tahun. Seri Ratu di Daha wafat, Seri Ratu di Matahun wafat, Seri Ratu di Mataram wafat. Selanjutnya terjadi masa kekurangan makan yang sangat lama pada tahun saka: Ular Jaman Menggigit Orang, atau : 1348. Baginda di Tumapel wafat pada tahun saka: Sembilan Jaman Tindakan Orang, atau: 1349, dicandikan di Lokerep, nama candinya Asmarasaba. Baginda di Wengker wafat, dicandikan di Sumengka.

XIII. Tuhan Kanaka meninggal dunia pada tahun saka: Sayap Luka Sifat Orang, atau : 1363. Tujuh belas tahun lamanya menjadi patih. Seri ratu di Lasem wafat di inggan. Baginda di Pandan Salas wafat. Raden Jagulu, Raden Gajah dilenyapkan, karena dianggap melakukan dosa, yalah: memenggal kepala Baginda di Wirabumi, pada tahun saka: Unsur Memanah Telur Tunggal, atau: 1355. Seri Ratu di Daha menjadi raja pada tahun saka: Sembilan lima api bulan, atau 1359. Baginda Parameswara wafat, ia wafat di Wisnu Bawana, pada tahun saka: Ular Golongan Api Bulan, atau tahun: 1359, dicandikan di Singajaya. Baginda Keling wafat, dicandikan di Apa Apa. Seri Ratu Prabu-stri wafat pada tahun saka: Sembilan Rasa Api Bulan, atau: 1369, dicandikan di Singajaya.

XIV. Lalu Baginda Tumapel mengganti menjadi raja. Baginda di Paguhan melenyapkan orang orang di Tidung Galating, dan ini dilaporkan ke Majapahit. Lalu terjadi gempa bumi pada tahun saka: Sayap Golongan Menggigit Bulan, atau: 1372. Baginda di Paguhan wafat di Canggu, dicandikan di Sabyantara. Baginda Hyang wafat, dicandikan di Puri. Baginda di Jagaraga wafat. Seri Ratu di Kabalan wafat, dicandikan di Pajang Wafat, dicandikan menjadi satu di Sabyantara. Lalu terjadi gunung meletus didalam minggu Kuningan, pada tahun saka: Belut Pendeta Menggigit Bulan, atau: 1373. Baginda Prabu wafat pada tahun saka: Api Gunung Tindakan Ekor, atau: 1373, nama resmi candinya Kerta Wijaya Pura.

XV. Baginda di Pamotan menjadi raja di Pamotan menjadi raja di Keling, Kahuripan, nama nobatannya Sri Rajasawardana. Sang Sinagara, dicandikan di Sepang pada tahun saka: Keinginan Kuda menggigit Orang, atau: 1375.

XVI. Tiga tahun lamanya tidak ada raja.

XVII. Lalu Baginda di Wengker menjadi raja, nama nobatannya Baginda Hyang Purwa Wisesa, pada tahun saka: Pendeta Tujuh Api Menggigit Bulan, atau: 1378. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Landep, pada tahun saka: Empat Ular Tiga Pohon, atau: 1384. Baginda di Daha wafat pada tahun saka: Golongan Pendeta Api Tunggal, atau: 1386. Baginda Hyang Purwa Wisesa wafat, dicandikan di Puri, pada tahun saka: Pendeta Ular Api Bulan, atau: 1388. Lalu Baginda di Jagaraga wafat.

XVIII. Baginda di Pandan Salas menjadi raja di Tumapel, lalu menjadi Baginda Prabu pada tahun saka: Pendeta Ular Tindakan Tunggal, atau: 1388. Ia menjadi Prabu dua tahun lamanya. Selanjutnya pergi dari istana. Anak anak sang Sinaraga yalah: Baginda di Kahuripan, Baginda di Mataram, baginda di Pamotan dan yang bungsu yalah: baginda Kertabumi, ini adalah paman baginda yang wafat didalam kedatuan pada tahun saka: Sunyi Tidak Jaman Orang, atau: 1400. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus, didalam minggu Watu Gunung pada tahun saka: Tindakan Angkasa Laut Ekor, atau: 1403.

Demikian itulah kitab tentang para datu. Selesai ditulis di Itcasada di desa Sela Penek, pada tahun saka: Keinginginan Sifat Angin Orang, atau: 1535.
Diselesaikan ditulis hari Pahing, Sabtu, minggu Warigadyan, tanggal dua, tengah bulan menghitam, bulan kedua. Semoga ini diterima baik oleh yang berkenan membaca, banyak kekurangan dan kelebihan huruf hurufnya, sukar dinikmati, tak terkatakan berapa banyaknya memang rusak, memang ini adalah hasil dari kebodohan yang meluap luap berhubung baharu saja belajar.
Semoga panjang umur, mudah mudahan demikian hendaknya, demikianlah, semoga selamat bahagia, juga sipenulis ini.

/////////

Download Gambar Karakter Majapahit








x

Urban Clothing

Urban Clothing
Busana Urban Sport