Kesunanan Surakarta, Jawa - Sri Susuhunan Paku Buwono X (1866-1939)
bersama Permaisuri Sri Gusti Kanjeng Ratu Mas Mursudarinah.
Dari kanan ke kiri, HB VII, GRA Mursudarinah, PB X, Kedua Emban, Pangeran Puruboyo (calon HB VIII)
Perkawinan Politik
Ketika membahas tekanan dari luar dan dalam kraton - baik oleh pemerintah kolonial, maupun oleh beberapa orang kerabat raja yang tidak puas terhadap kondisi dan kebijakannya - Sultan HB VII mengambil langkah untuk memperkuat posisinya. Baik sebagai raja di kraton, maupun sebagai penguasa Jawa di pemerintah kolonial Belanda. Langkah yang diambil Sultan HB VII adalah membuat jalinan hubungan dengan Kesunanan Surakarta, yaitu dengan cara menikahkan kerabat raja, bisa putra atau putri, antar dua kerajaan Jawa itu.
Rencana Sultan HB VII ini dapat dijalankan, karena mendukung dan mendukung yang mendukung, yaitu kursi kursi putra mahkota di Surakarta. Bila di Kesultanan Yogyakarta ada koleksi putra yang lahir dari permaisuri sultan yang bisa dipilih menjadi putra mahkota, maka di Kesunanan Surakarta tidak ada putra yang lahir dari permaisuri. Melanjutkan, hal ini. Keributan antar keluarga raja. Diharapkan Sunan PB X diharapkan untuk ditunjuk sebagai pewaris tahta. Namun, Sunan PB X menolak untuk memilih salah satu dari adiknya. Untuk mengatasi konflik internal, raja kemudian menyetujui untuk mendirikan dewan kerajaan (rijksraad), yang membahas memberikan usul kepada Sunan tentang nama-nama yang layak menjadi pewaris tahta. Namun demikian, dewan yang membentuk pada tahun 1910 ini, akhirnya menyerahkan wewenang untuk membahas tentang Sunan PB X. Sunan PB X, kemudian memilih menikahi putri Sultan HB VII di Yogyakarta, untuk digunakan permaisuri.144
Gusti Raden Ayu (GRA) Mursudarinah
Paku Buwono X Sewaktu lebih Muda
Setelah Rijksraad mendukung rencana lengkap Sunan PB X itu, dan Residen GF. van Wijck menyetujui persetujuan dari Gubernur Jenderal Idenburg, 145 pada tanggal 11 November 1912, Sunan PB X memutuskan untuk berangkat ke Kesultanan Yogyakarta dengan meminang salah satu putri Sultan HB VII. Kedatangan Sunan PB X di kraton ini diambil dengan tembang di antara para putri Yogya, yang dikutip syairnya sebagai berikut:
Ca bawa, thek, thek,
ja miling, thek,
hek Sunan Sala tedhak Nyoja nitih montor,
thek, thek Sing manggihi, thek, thek, thek,
para putra, thek,
thek Jejer wolu bernyanyi dipunghut nomer telu146
Hai kawan Marilah bernyanyi, Jangan Lengah
Sunan Sala nonton Ke Yogya menaiki mobil
Yang menerima Adalah putra
Delapan orangutan berderet, Gunakan nomor Tiga Yang Dibagikan
tembang Yang berbeda adalah keturunan orang putri Sultan HB VII dari Ratu Kencono (muda), dan putri yang nomor tiga adalah Raden Ayu (RA) Mursudarinah. Hal ini merupakan langkah Sultan HB VII untuk merawat kekecewaan Ratu Kencono dan Pangeran Mangkukusumo atas kerusakannya menjadi putra mahkota. Dengan lamaran Sunan Surakarta itu atas putrinya, Ratu Kencono menjadi ibu mertua Sunan PB X, dan hal ini berarti perlu Ratu Kencono agar ada yang salah satu keturunannya menjadi raja, telah terkabul.
Setelah menetapkan calon permaisurinya, Sunan PB X kembali ke Surakarta. Sebagai tindak lanjut, Sultan HB VII melakukan kunjungan balasan ke Surakarta. Anjangsana ini dilakukan pada tanggal 17 Desember 1912 sebagai kesempatan untuk membahas kebijakan perkawinan ini.147
Penyusunan dan penyajian lagu-lagu ini menciptakan kenyamanan keakraban di Kesunanan Surakarta dan Yogyakarta Kesultanan, dan sangat luas di antara masyarakat Jawa. Hal ini terjadi karena zaman Sultan HB II tidak ada lagi hubungan dengan Kesunanan Surakarta.
Dari acara saling terkait ini, maka dibuat perjanjian antara dua raja, yaitu tentang Sunan PB X kembali berkunjung ke Yogyakarta dengan tujuan melamar RA Mursudarinah, pada tanggal 6 Juli 1913, dengan tujuan melamar RA Mursudarinah.149 Dalam acara ini, para kunjungan Belanda dari Surakarta dan Yogyakarta hadir. Menyangkut peristiwa ini, Residen Yogya diinstruksikan oleh pemerintah kolonial di Batavia untuk membuat laporan lengkap dan terperinci tentang apa yang terjadi di Kesultanan Yogyakarta itu.
Agenda selanjutnya adalah menentukan waktu pernikahan. Atas persetujuan kedua raja, ditetapkan tanggal 27 Oktober 1915 sebagai hari pernikahan.150 Pada saat itu juga persetujuan bahwa perkawinan akan dilangsungkan di Kesunanan Surakarta. Hal yang menjadi pertimbangan baru, membahas tentang keputusan Sultan HB VII. Tentu saja dalam upacara Sunan PB X selaku mempelai akan duduk lebih tinggi dari Sultan HB VII. Di samping itu, di muka umum Sunan PB X akan melangsungkan sungkeman di depan
mertuanya, Sultan HB VII, yang pasti akan membutuhkan lebih banyak di antara para bangsawan Surakarta, karena mereka menggunakan raja yang berstatus sama.152
Akhirnya diputuskan oleh Sultan HB VII tidak akan hadir dalam upacara tersebut. Namun sebagai konsekuensinya, mempelai wanita yang telah bergelar Gusti Raden Ayu (GRA) Mursudarinah, tidak akan berstatus sebagai calon istri-istri Sunan PB X sebelumnya.153 Ia masih harus meminta pengaisuri untuk menginstalasi yang pertama kali di Surakarta. Sunan PB X menerima persyaratan itu, dibuat sehari-hari sebelumnya, kompilasi akad nikah dilangsungkan di kraton Surakarta, yaitu tanggal 27 Oktober 1915 pukul 9 pagi, mempelai wanita masih berada di Yogyakarta. Baru pada siang hari, dengan menggunakan kereta api, mempelai wanita langsung berangkat menuju Surakarta - dan bersama-sama rombongan yang mewakili Sultan HB VII - tiba di stasiun Balapan.154 Dengan diundang oleh rombongan pimpinan Kesunanan, mereka langsung diantar ke kraton untuk melangsungkan upacara pernikahan tersebut. 155 Pada saat pesta sedang berlangsung, diumumkan bahwa GRA Mursudarinah kini bergelar Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dan ada saat pesta itu berlangsung, diumumkan bahwa GRA Mursudarinah kini bergelar Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dan
Sunan PB X, yang akan turun pewaris tahta.156
Setelah proses perkawinan berlangsung, pengaruh dari film ini menjadi sangat besar, diperuntukkan bagi para pemimpin pribumi Jawa.157 Sekarang di Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta telah terjalin hubungan kekerabatan, yang sebelumnya telah dilakukan oleh Kadipaten Pakualaman dan Kesultanan Yogyakarta. Begitu juga telah terjalin hubungan kekerabatan antara Kadipaten Mangkunegaran dan Kesunanan Surakarta. Kadipaten Mangkunegaran dan Kesultanan Yogyakarta, yang telah terputus sejak pemerintahan raja-raja pertama mereka.158
Pada saat pernikahan Sunan PB X dan Ratu Hemas dilanjutkan, Mangkunegoro (MN) VI tidak menghadirinya dengan alasan yang aman. Setahun kemudian MN VI digantikan oleh Mangkunegoro (MN) VII. Penguasa baru ini melihat peta politik di antara para penguasa Jawa dan meminta dia harus mengambil langkah-langkah strategis untuk memperkuat posisinya. Langkah ini kemudian diwujudkan dengan rencana mengambil putri dari Kesultanan Yogyakarta dan diambil permaisuri. MN VII menyampaikan maksud ini melalui pembicaraannya kepada Sultan HB VII. Seperti mengundang kompilasi Sunan PB menyampaikan niatnya untuk melamar putrinya, Sultan HB VII memberikan kesempatan kembali kepada Ratu Kencono untuk memberikan salah satu putrinya untuk MN VII. Menerima permintaan Sultan ini, Ratu Kencono dengan senang hati menerima diri sendiri untuk melakukan penyambutan bagi calon mantu.
Dalam kunjungan MN VII ke Kesultanan Yogyakarta yang berlangsung pada pertengahan 1918, putri-putri Ratu Kencono menyambutnya. Pilihan
kemudian jatuh pada salah satu adik BRA Mursudarinah, yaitu BRA Mursudariyah. Setelah diterima dari Sultan HB VII dan pemerintah Belanda, lamaran oleh MN VII ke Yogyakarta berlangsung pada bulan Desember 1918. Dalam acara ini, pembicaraan tentang pernikahan mereka juga dibicarakan, yang diselesaikan pada tanggal 24 Maret 1920.159
Pada hari yang telah ditentukan, BRA Mursudariyah berangkat ke Surakarta dan pada tanggal itu turun di stasiun kereta api Purwosari untuk selanjutnya dibawa ke Mangkunegaran. Bentuk prosesi upacara berlangsung seperti yang terjadi pada perkawinan Sunan PB X dan GRA Mursudarinah - yang bergelar GKR Hemas. Setelah menghadiri pernikahan, setelah resmi menghadiri Pura, Mangkunegaran mengumumkan bahwa BRA Mursudariyah menyandang gelar GKR Timur. 160Namun dalam hal ini, acara tidak semeriah perkawinan Sunan PB X. Kondisi kesehatan Sultan HB VII yang semakin rapuh tidak lagi banyak mendukung untuk prosesi pernikahan yang besar-besaran. Selain itu, tantangan politik di kraton Yogya yang kian memanas tentang masa depan pemerintahannya.
Oleh karena itu, perkawinan dua orang putri Yogya dengan para penguasa di Surakarta mempertanyakan politik penting dan perkembangan awal bagi Vorstenlanden, meningkat sejak tahun 1812. Perkawinan yang bernuansa politik ini perlu digunakan tolak dan momentum yang diperlukan untuk kemunculan kembali potensi politik raja-raja Jawa yang pada awal abad 20 semakin redup dengan dominasi kekuatan kolonial. Sementara di luar tembok kraton, tengah naik aktivitas dari para tokoh pribumi terpelajar dalam organisasi massa, yang mulai sadar tentang makna kebebasan dan kemerdekaan.
No comments:
Post a Comment