Friday 27 July 2018

Peta Lama Kota Bogor


Potret Sultan Kutai


Sultan Sultan Ali Muhammad Alimuddin Dari Kutai
Sumber:


Panembahan Cakraningrat II, Adipati Madura Barat


Sumber Gambar: 


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Jump to navigationJump to search
Panembahan Cakraningrat II, memerintah antara 1680-1707, adalah seorang penguasa wilayah Madura Barat dan pesisir utara Jawa Timur.[1] Namanya sebelum naik tahta adalah Raden Undagan atau Pangeran Sampang.[2] Kekuasaan Cakraningrat II mendapat dukungan kuat dari para penguasa Surabaya, yang juga adalah menantu dan cucu menantunya, yaitu Ngabehi Jangrana I dan anaknya Jangrana II.[1] Pada masa pemerintahannya, ia juga terlibat dalam kemelut suksesiMataram, yang antara lain melibatkan TrunojoyoAmangkurat IIUntung SurapatiPakubuwana IAmangkurat III, serta VOC.[1]
Cakraningrat II adalah anak kedua dari Cakraningrat I, penguasa pertama Madura Barat yang diangkat sebagai vasal dari Mataram oleh Sultan Agung; sedangkan ibunya adalah putri keturunan Sunan Giri yang bernama Nyi Ageng Sawu, atau gelarnya Ratu Ibu.[2] Raden Undagan diangkat sebagai penguasa untuk menggantikan ayahnya oleh Susuhunan Amangkurat I.[1] Pada masa pemberontakan Trunojoyo yang terjadi antara 1674-1679, Cakraningrat II sempat disingkirkan dari kekuasaannya; namun setelah pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan maka ia pun berkuasa kembali.[1] Trunojoyo sesungguhnya adalah keponakannya sendiri, yaitu anak dari Demang Melayakusuma, kakaknya yang tidak naik tahta.[3]
Ketika usianya telah lanjut, Cakraningrat II turut berpihak kepada Pakubuwana I dalam suksesi kekuasaannya melawan Amangkurat III dan sekutunya Untung Suropati.[4] Pasukan gabungan Kartasura, Madura, Surabaya, dan VOC berhasil menang pada tahun 1706.[4] Untung Suropati terbunuh, Amangkurat III diasingkan ke Srilangka hingga wafatnya, dan Cakraningrat II juga meninggal tak lama kemudian.[4] Ia jatuh sakit dan meninggal di Kamal, Bangkalan, sehingga mendapat gelar anumerta Panembahan Siding Kamal ('Panembahan wafat di Kamal') oleh masyarakat.
Setelah Cakraningrat II wafat, pemerintahannya dilanjutkan oleh anaknya yaitu Cakraningrat III.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f Ricklefs, Merle Calvin; Nugraha, Moh. Sidik (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Penerbit Serambi. ISBN 978-979-024-115-2., hlm. 186-191.
  2. ^ a b de Graaf, Hermanus Johannes (1987). Runtuhnya Istana Mataram. Grafitipers. ISBN 978-979-444-036-0., hlm. 51-52.
  3. ^ Kartodirjo, Sartono (1973). Sejarah perlawanan-perlawanan terhadap kolonialisme. Pusat Sejarah ABRI., hlm. 4.
  4. ^ a b c Kumar, Ann (1976). Surapati: Man and Legend : a Study of Three Babad Traditions. Brill Archive. ISBN 978-90-04-04364-0., hlm. 32-39.

Tuesday 24 July 2018

Peta Nusantara Tahun 1500 Masehi


Peta Sejarah Kerajaan-kerajaan di Nusantara sekitar tahun 1500 masehi, Yakni sebelum VOC masuk ke Indonesia.

Monday 16 July 2018

Hamengkubuwono I. Pendiri Kesultanan Jogja


Pada hari yang sama 11 Desember 1749 Sunan Paku Buwana II yang sudah sakit parah menandatangani dan menyegel akta penyerahan yang didalamnya berisi penyerahan seluruh Kerajaan Mataram kepada Belanda yang diwakili oleh Gubernur pantai Timur Laut , bekas Komandan Garnisun Surakarta J.A. Baron von Hohendorff.

Pada tanggal 15 Desember 1749 , Putra Mahkota Kasunanan Surakarta dinobatkan sebagai raja baru Kasunanan Surakarta oleh von Hohendorff dengan sebutan Susuhunan Paku Buwana III. Di dalam Babad Giyanti disebutkan secara ringkas bahwa Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia di Batavia menobatkan Susuhunan yang baru di Surakarta. Putra Mahkota mengakui bahwa dia menjadi raja bukan akibat hak keturunan, melainkan karena Kompeni Hindia Timur Belanda memilih dia untuk jabatan itu. Menuruti anjuran Gubernur, Susuhunan baru itu dan para pejabat keraton kemudian memberi penghormatan terakhir kepada Paku Buwana II yang sudah sangat payah, yang akhirnya wafat pada tanggal 20 Desember 1749 dan dimakamkan di Laweyan, Surakarta.

Apabila di Surakarta berlangsung penobatan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwana III, di lain pihak peperangan prajurit Kabanaran atau prajurit Mangkubumen berlangsung sengit. melawan tentara Belanda. Prajurit Mangkubumen semakin bertambah dengan banyaknya bupati mancanagara yang bergabung , tercatat tokoh-tokoh seperti Raden Rangga Prawirasentika, Tumenggung Yudanagara, Tumenggung Alap-alap dan lain sebagainya yang menjadi momok bagi prajurit Belanda. Sampai timbul semacam pemeo bahwa siapa yang unggul dalam peperangan Ungaran yang terkenal dengan ontran-ontran beteng Ungaran, maka merekalah yang unggul dalam perang Mangkubumen ini. Dan kenyataan terjadi, benteng Ungaran dapat dibedah Pangeran Mangkubumi beserta prajuritnya, bahkan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff luika parah dan dilain waktu akhirnya meninggal.

Peperangan lain yang tiak kalah serunya terjadi di desa Jenar (menurut sumber Belanda di Bagawanta). Tentara Belanda di bawah komando Mayor Clereq berhadapan dengan prajurit Mangkubumen. Dalam peperangan sengit ini sampai menjelang malam sehingga harus terthenti, Banyak korban dikua belah pihak. Pihak Belanda yang tewas Mayor Repot, Katen Hoetje dan prajurit Mangkubumen yang gugur T. Mangunnagara. Kedua belah pihak juga banyak menawan musuh termasuk para wanita. Hal inilah yang mnyebabkan prihatinnya P. Mangkubumi, sehingga pada keesokan harinya sebelum melanjutkan peperangan beliau mengumpulkan para saudara dan punggawa dan prajurit untuk membicarakan strategi perang dan membebaskan prajurit yang tertawan termasuk para wanita. Setelah semua lengkap, kemudian P. Mangkubumi berkata : " Kanda B.P.H Hadiwijaya serta para Pangeran, saya mendengar berita bahwa perang kemarin para parepot banyak yang tertawan musuh. Jika demikian bagaimana usaha kita agar dapat merebut mereka kembali ?".

B.P.H Hadiwijaya menjawab : Adinda, kakanda dan para pangeran hanya menurut apa yang menjadi kehendak adinda".
P. Mangkubumi kemudian menanyakan kepada para abdi dalem semua : "Abdiku semua, bagaimana saran kalian semua tentang para parepot yang tertawan musuh tadi ? Apabila tidak bisa direbut pada perang hari ini juga, saya merasa sangat nistha, sebab wanita itu titah yang harus diluhurkan !:.
Semua yang hadir setelah mendengar sabda P. Mangkubumi tersebut sangat takut. Akan membantah tidak berani , kalau menyanggupi merasa tidak mampu. Akhirnya mereka berkata bersama : "Gusti junjungan kami, apabila ada perintah dari Gusti, hamba semua tinggal melaksanakan"
Setelah P. Mangkubumi mendapat jawaban semua yang hadir seperti itu kemudian bicara dalam hati : "Apa jadinya nanti apabila semua hanya menurut apa yang menjadi kehendak saya. Jika demikian apabila saya belum bisa menyatukan (njumbuhake) Kawula dan Gusti, serta tetap mantap apa yang menjadi kehendak saya, pasti tidak akan terlaksana".
Akhirnya P. Mangkubumi bersabda : " Kanda B.P.H Hadiwijaya serta semua saja yang hadir, hantarkan saya untuk merebut para parepot, yaitu saudara saya dan juga saudara dari semua yang hadir disini. Jika nanti saya belum gugur di medan perang, semua jangan sampai ikut-ikut!".
Setelah semua yang hadir mendengar sabda Kanjeng Susuhunan (P. Mangkubumi) seperti itu lantas tergugah semangatnya, kemudian semua berkata : " Sebelum kami semua gugur, jangan sampai paduka Kanjeng Susuhunan bertindak sendiri untuk merebut parepot !".
Berkata demikian bersamaan mereka menarik semua keris mereka dari warangkanya seraya berkata : :O, junjungan kami, apakah kami sudah diijinkan berangkat sekarang , sebab apabila kelamaan tidak akan baik akibatnya:.
P. Mangkubumi menjawab : " Sabar dulu Kanda B.P.H Hadiwijaya serta semuanya, sarungkan dulu kerisnya!".
Setelah semua menyarungkan kerisnya, P. Mangkubumi bersabda : "Kanda B.P.H Hadiwijaya, apabila nanti ada salah satu pangeran atau para punggawa yang kembali karena takut terhadap musuh, jangan sampai tanya dosanya, pasti akan saya bunuh sendiri!".
Semua yang hadir menjawah serentak : "Silahkan Gusti".
P. Mangkubumi kemudian memerintahkan membuat gelar perang Garudha Nglayang (Dalam sumber lain menyebut gelar perang yang dipakai adalah Supit Urang).
Pasukan Mangkubumen bertemu dengan pasukan pimpinan Mayor Clereq. Peperangan serupun terjadi. Lama kelamaan Mayor Clereq kehabisan pasukan, sebab banyak yang tewas maupun terluka, atau lari meninggalkan senapatinya. Setelah Mayor Clereq hanya tinggal sendiri, abdi dalem Mantrijero bernama Wiradigda menombak, tetapi sayang hanya kena pundak yang dilapis baju besi. Mayor Clereq setelah pedangnya jatuh, segera menarik pistol, namun bersamaan dengan prajurit Mantrijero bernama Prawirarana menusuk leher Mayor Clereq. Mayor Clereq jatuh terlentang, diinjak oleh Prawirarana kemudian disembelih. Dengan gugurnya Mayor Clereq semua pasukannya lari tunggang langgang.

Peristiwa gugurnya Mayor Clereq ini terjadi pada hari Minggu Legi, 22 Sura tahun Jimawal 1677 J atau tanggal 12 Desember 1751 M. Adapun abdidalem Prawirarana yang berhasil membunuh Mayor Clereq oleh P. Mangkubumi dinaikkan pangkatnya menjadi bupati dengan nama T. Kartanadi (nantinya menjadi Bupati Grobogan dengan nama T. Sasranagara). Sedangkan tombak yang digunakan untuk membunuh Mayor Clereq nantinya dijadikan tombak pusaka kraton dengan nama Kanjeng Kyai Clereq.
Selanjutnya pasukan Mangkubumen menyerang Pekalongan pada hari Sabtu Pon tanggal 1 Jumadilawal tahun Jimawal 1677 J atau 20 Maret 1752. Dalam peperangan ini banyak pasukan musuh yang menyerah dan menyatakan bergabung dengan P. Mangkubumi, yakni Kapten Juwana orang Bugis, lengkap dengan prajurit Bugis, Galengsong dan Kraeng Daheng dari Terate dan Ujung Pandang. Para prajurit inilah yang nanti menjadi Korps Prajurit Kraton Yogyakarta.

Demikianlah peperangan demi peperangan terus berlangsung yang membawa banyak korban di kedua belah pihak. Di pihak Belanda tercatat nama Letnan Koen yang tewas dalam perang di Gawong, Dalam pertempuran di Juwana Residen Van Goens tewas, Letnan Van Gier tewas dalam perang di Grobogan, Letnan Foster tewas di pertempuran Gunung Tidar, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff luka parah pada ontran-ontran beteng Ungaran yang akhirnya juga tewas, Mayor Clereq dan Kapten Winter tewas dalam peperangan di Jenar (Bagawanta), dan prajurit Belanda yang tewas 3801 prajurit.
Melihat kenyataan ini, kemudian Belanda menggunakan politik de vide et impera (politik memecah belah). Melalui T. Sujanapura, Baron von Hohendorff berhasil menghasut R.M Said (P.H. Mangkunagara), dengan kemungkinan R.M. Said akan disingkirkan setelah P. Mangkubumi menang, sehingga menimbulkan rasa curiga R.M kepada P. Mangkubumi, paman sekaligus ayah mertua R.M. Said sendiri. R.M. Said terkena hasutan dan memisahkan diri dari pasukan Mangkubumen dan bergabung dengan pasukan Baron von Hohendorff memusuhi P. Mangkubumi. Dengan pisahnya R.M. Said dengan pengikutnya, maka kekuatan pasukan P. Mangkubumi tinggal 60 %. P. Mangkubumi yang sudah hampir mencapai kemenangan atas VOC, kini harus menghadapi VOC yang didukung pasukan dari Kasunanan Surakarta dan R. M Said (P.H. Mangkunagara)
Melihat peperangan yang tidak menguntungkan Belanda, maka Gubernur Jenderal Yacob Moesel meminta diadakan perdamaian dengan P. Mangkubumi melalui Sarib Besar Syekh Ibrahim dari Turki sebagai juru bahasa dan juru runding dari pihak Belanda bersama Nicolaas Hartingh.

Thursday 5 July 2018

Bagaimana penampilan Manusia Cro-Magnon




Brikut ini Perkiraan bentuk kepala manusia Cro-Magnon berdasrkan fosil yang ditrmukan,




Manusia Cro-Magnon punya Bump Nose yang membuat hidungnya terlihat bengkok, selain itu mereka punya rahang bawah yang besar dan lebar.

Tuesday 3 July 2018

Kenduri di Kebun persik dan Kisah Tiga kerajaan





Luo Guanzhong menulis Roman Tiga Kerajaan sekitar tahun 1380 M, selama Dinasti Yuan, tetapi tentang hal-hal yang terjadi lebih dari seribu tahun sebelumnya, pada akhir Dinasti Han dan selama periode Tiga Kerajaan, sekitar 200-280 M.


Kenduri di kebun persik adalah sebuah peristiwa fiktif dalam novel historis Romansa Tiga Kerajaan oleh Luo Guanzhong. Acara ini diatur di akhir dinasti Han Timur sekitar waktu Pemberontakan Turban Kuning pada tahun 180-an. Liu Bei, Guan Yu dan Zhang Fei mengambil sumpah persaudaraan dalam sebuah upacara di Peach Garden (diyakini berada di Zhuozhou, Hebei), dan menjadi saudara angkat sejak saat itu. Tujuan mereka mengambil sumpah adalah untuk melindungi Kekaisaran Han dari pemberontak Turban Kuning. Sumpah itu mengikat ketiga pria itu, yang nantinya akan memainkan peran penting dalam pembentukan negara Shu Han selama periode Tiga Kerajaan. Ini juga sering disinggung sebagai simbol kesetiaan persaudaraan.


Ketika mengatakan nama-nama Liu Bei, Guan Yu dan Zhang Fei, meskipun nama keluarga berbeda, namun kami telah bersatu sebagai saudara. Mulai hari ini, kami akan menggabungkan kekuatan untuk tujuan yang sama: untuk menyelamatkan yang bermasalah dan membantu yang terancam punah. Kami akan membalas bangsa di atas, dan menenangkan warga di bawah ini. Kami berusaha untuk tidak dilahirkan pada hari yang sama, di bulan yang sama dan di tahun yang sama. Kami hanya berharap mati pada hari yang sama, di bulan yang sama dan di tahun yang sama. Semoga Dewa Surga dan Bumi membuktikan apa yang ada di dalam hati kita. Jika kita harus melakukan apa saja untuk mengkhianati persahabatan kita, semoga surga dan orang-orang di bumi sama-sama membunuh kita.

Dalam banyak terjemahan lainnya, hanya bagian yang membahas "mati pada hari yang sama". Namun, ketiga bersaudara itu tidak mati pada hari yang sama: Guan Yu dibunuh oleh pasukan Sun Quan pada 220; Zhang Fei dibunuh oleh bawahannya di   Liu Bei meninggal karena sakit pada  , setahun setelah kekalahannya yang menghancurkan di Pertempuran Xiaoting.


Pada akhir Dinasti Han, para kaisar kehilangan kekuatanSegera Kekaisaran jatuh terpisah menjadi tiga kerajaan independen, yang selalu berperang satu sama lainSetiap kerajaan memiliki raja sendiriLiu Bei adalah raja dari satu kerajaan, Shu Han, di barat daya CinaDia terkait dengan kaisar Han lama, jadi dia pikir dia harus menguasai seluruh ChinaLiu Bei memiliki dua teman yang membantunya: Guan Yu, yang selalu berusaha melakukan hal yang benar, dan Zhang Fei, seorang pejuang yang ganasMereka dikenal sebagai Tiga Saudara (meskipun mereka tidak benar-benar bersaudara). Liu Bei juga memiliki Zhuge Liang, seorang sarjana Tao yang memberi Liu Bei nasihat yang baik dan kadang-kadang bantuan ajaib (seperti Merlin King Arthur atau jin yang memberi nasihat kepada Aladdin di Arabian Nights).

Cao Cao memerintah Wei, kerajaan di utaraDia adalah musuh terburuk Liu BeiCao Cao adalah seorang jenderal yang juga sangat pintar, dan suka menulis puisi.


Di tenggara, Sun Quan adalah raja kerajaan WuDia tidak sekuat Liu Bei dan Cao CaoNamun, Liu Bei berusaha membuat Sun Quan membantunya melawan Cao CaoAwalnya, Sun Quan membantu Liu Bei, dan bersama-sama mereka mengalahkan Cao Cao pada Pertempuran Tebing Merah.

Tapi kemudian Sun Quan takut bahwa Liu Bei akan mengambil alih Wu sendiriJadi Sun Quan mencoba membunuh Liu Bei melalui tipuanDia berjanji untuk membiarkan Liu Bei menikahi adik perempuannya, untuk membuatnya datang ke Wu sehingga Sun Quan dapat membunuhnyaTetapi ketika Liu Bei tiba, ibu Sun Quan, Lady Wu, memutuskan bahwa Liu Bei adalah pria yang baik dan tidak boleh dibunuh, dan dia tidak akan membiarkan Sun Quan membunuhnyaJadi Liu Bei pulang ke rumah untuk Shu Han, dan dia harus menikahi adik Sun Quan juga.

Setelah beberapa saat, Cao Cao meninggal, dan semua orang mulai bertengkar lagi atas kerajaan Cao CaoSun Quan beralih pihak dan membuat aliansi dengan putra Cao Cao, Cao PiKemudian Sun Quan menyerang Liu Bei dan membunuh temannya Guan YuTetapi Sun Quan tidak dapat terus bertempur melawan Liu Bei, karena Cao Pi yang berbahaya mengambil keuntungan dari Sun Quan yang sedang sibuk menyerangnya kembali di Wu.


Segera setelah ini, Liu Bei meninggalPutranya Liu Shan menjadi raja Shu Han, tetapi Liu Shan terlalu muda dan lemah untuk menjadi penguasa yang baikZhuge Liang, sang Pendeta Tao, berjanji untuk membantu Liu Shan dengan setia, dan dia adalah kekuatan asli Shu HanCao Pi mencoba menyerang Liu Shan, melihat bahwa dia lemah, tetapi empat kali dia kalah dalam pertempuranSun Quan, melihat ini, memutuskan untuk kembali ke sisi Liu ShanTetapi Liu Shan dan Cao Pi, dan penerus mereka, terus berjuang selama bertahun-tahun, sampai akhirnya keturunan Cao Pi, Sima Yan, dari Wei, membawa semua Tiongkok bersama lagi di bawah Dinasti Sui.

Sejarah Revolusi Perancis


Revolusi Perancis adalah peristiwa penting dalam sejarah Eropa modern yang dimulai pada 1789 dan berakhir pada akhir 1790-an dengan naiknya Napoleon Bonaparte. Selama periode ini, warga Perancis menghancurkan dan mendesain ulang lanskap politik negara mereka, mencabut lembaga berabad-abad lamanya seperti monarki absolut dan sistem feodal. Pergolakan itu disebabkan oleh ketidakpuasan yang meluas terhadap monarki Prancis dan kebijakan ekonomi miskin Raja Louis XVI, yang menemui ajalnya dengan guillotine, seperti yang dilakukan istrinya, Marie Antoinette. Meskipun gagal mencapai semua tujuannya dan kadang-kadang merosot menjadi pertumpahan darah yang kacau balau, Revolusi Perancis memainkan peran penting dalam membentuk negara-negara modern dengan menunjukkan kepada dunia kekuatan yang melekat pada kehendak rakyat.
Promo History Vault

Krisis Ekonomi Kerajaan

Ketika abad ke-18 hampir berakhir, keterlibatan Prancis yang mahal dalam Revolusi Amerika, dan pengeluaran besar-besaran oleh Raja Louis XVI dan pendahulunya, telah meninggalkan negara di ambang kebangkrutan.

Bukan hanya pundi-pundi kerajaan habis, tetapi dua dekade panen yang buruk, kekeringan, penyakit ternak dan harga roti yang meroket telah mengobarkan keresahan di antara petani dan kaum miskin kota. Banyak yang mengungkapkan keputusasaan dan kebencian mereka terhadap rezim yang memberlakukan pajak berat - namun gagal memberikan bantuan - dengan kerusuhan, penjarahan, dan pemogokan.

Pada musim gugur tahun 1786, pengendali umum Louis XVI, Charles Alexandre de Calonne, mengusulkan paket reformasi keuangan yang mencakup pajak tanah universal yang tidak lagi dikecualikan oleh kelas-kelas istimewa.

Untuk menggalang dukungan untuk langkah-langkah ini dan mencegah pemberontakan aristokratis yang sedang tumbuh, raja memanggil Estates-General (les états généraux) - sebuah majelis yang mewakili pendeta, bangsawan, dan kelas menengah Perancis - untuk pertama kalinya sejak 1614.

Pertemuan itu dijadwalkan pada 5 Mei 1789; Sementara itu, delegasi dari tiga perkebunan dari masing-masing wilayah akan menyusun daftar keluhan (cahiers de doléances) untuk diserahkan kepada raja.
Kebangkitan Ketiga Estate

Populasi Perancis telah banyak berubah sejak 1614. Anggota non-aristokrat dari Perkebunan Ketiga sekarang mewakili 98 persen orang tetapi masih bisa kalah suara dengan dua badan lainnya.

Menjelang pertemuan 5 Mei, Third Estate mulai memobilisasi dukungan untuk perwakilan yang setara dan penghapusan hak veto yang mulia - dengan kata lain, mereka ingin memilih oleh kepala dan bukan oleh status.

Sementara semua perintah berbagi keinginan umum untuk reformasi fiskal dan peradilan serta bentuk pemerintahan yang lebih representatif, para bangsawan pada khususnya enggan melepaskan hak istimewa yang mereka nikmati di bawah sistem tradisional.

Sumpah Lapangan Tenis

Pada saat Estates-General berkumpul di Versailles, debat publik yang sangat tinggi mengenai proses pemungutan suara telah meletus menjadi permusuhan antara tiga ordo, melampaui tujuan awal dari pertemuan dan otoritas orang yang telah menyelenggarakannya.

Pada tanggal 17 Juni, dengan pembicaraan mengenai prosedur yang macet, Third Estate bertemu sendiri dan secara resmi mengadopsi gelar Majelis Nasional; tiga hari kemudian, mereka bertemu di lapangan tenis dalam ruangan di dekatnya dan mengambil apa yang disebut Sumpah Lapangan Tenis (pelayanan du jeu de paume), bersumpah untuk tidak membubarkan sampai reformasi konstitusional telah tercapai.

Dalam seminggu, sebagian besar deputi klerus dan 47 bangsawan liberal telah bergabung dengan mereka, dan pada 27 Juni Louis XVI dengan susah payah menyerap ketiga perintah itu ke majelis baru.
The Bastille and the Great Fear

Pada tanggal 12 Juni, sebagai Majelis Nasional (dikenal sebagai Majelis Konstituante Nasional selama bekerja pada konstitusi) terus bertemu di Versailles, ketakutan dan kekerasan menghabiskan modal.

Meskipun antusias tentang kehancuran kekuasaan kerajaan belakangan ini, penduduk Paris mulai panik ketika desas-desus tentang kudeta militer yang akan datang mulai beredar. Sebuah pemberontakan populer memuncak pada 14 Juli ketika para perusuh menyerbu benteng Bastille dalam upaya mengamankan mesiu dan senjata; banyak yang menganggap acara ini, kini diperingati di Prancis sebagai hari libur nasional, sebagai awal Revolusi Prancis.

Gelombang semangat revolusioner dan histeria luas dengan cepat menyapu pedesaan. Bertentangan dengan eksploitasi bertahun-tahun, para petani menjarah dan membakar rumah para pemungut cukai, tuan tanah dan elit seigniorial.

Dikenal sebagai Ketakutan Besar (la Grande peur), pemberontakan agraria mempercepat eksodus para bangsawan yang meningkat dari negara itu dan mengilhami Majelis Konstituante Nasional untuk menghapus feodalisme pada 4 Agustus 1789, dengan menandatangani apa yang oleh sejarawan Georges Lefebvre kemudian disebut "sertifikat kematian" dari orde lama. "
Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara

Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara

Pada tanggal 4 Agustus, Majelis mengadopsi Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara (Deklarasi des droits de l'homme et du citoyen), sebuah pernyataan prinsip-prinsip demokrasi yang didasarkan pada ide-ide filosofis dan politik pemikir Pencerahan seperti Jean-Jacques Rousseau.

Dokumen tersebut menyatakan komitmen Majelis untuk menggantikan rezim lama dengan sistem yang didasarkan pada kesempatan yang sama, kebebasan berbicara, kedaulatan rakyat dan pemerintahan perwakilan.

Penyusunan konstitusi formal terbukti lebih merupakan tantangan bagi Majelis Konstituante Nasional, yang memiliki beban tambahan berfungsi sebagai legislatif selama masa ekonomi yang keras.

Selama berbulan-bulan, anggotanya bergumul dengan pertanyaan mendasar tentang bentuk dan hamparan lanskap politik baru Prancis. Misalnya, siapa yang akan bertanggung jawab untuk memilih delegasi? Akankah pendeta berutang kesetiaan kepada Gereja Katolik Roma atau pemerintah Prancis? Mungkin yang paling penting, seberapa besar kewenangan raja, citra publiknya semakin melemah setelah upaya gagal untuk melarikan diri dari negara itu pada Juni 1791, dipertahankan?

Diadopsi pada 3 September 1791, konstitusi tertulis pertama Perancis menggemakan suara-suara yang lebih moderat di Majelis, membentuk monarki konstitusional di mana raja menikmati hak veto kerajaan dan kemampuan untuk menunjuk menteri. Kompromi ini tidak duduk dengan baik dengan kaum radikal berpengaruh seperti Maximilien de Robespierre, Camille Desmoulins dan Georges Danton, yang mulai menghimpun dukungan rakyat untuk bentuk pemerintahan yang lebih republik dan untuk pengadilan Louis XVI.
Revolusi Prancis Ternyata Radikal

Pada bulan April 1792, Majelis Legislatif yang baru terpilih menyatakan perang terhadap Austria dan Prusia, di mana ia percaya bahwa para imigran Prancis sedang membangun aliansi kontra-revolusioner; ia juga berharap untuk menyebarkan cita-cita revolusionernya di seluruh Eropa melalui peperangan.

Di front domestik, sementara itu, krisis politik mengambil giliran radikal ketika sekelompok pemberontak yang dipimpin oleh ekstrimis Jacobin menyerang kediaman kerajaan di Paris dan menangkap raja pada 10 Agustus 1792.

Bulan berikutnya, di tengah gelombang kekerasan di mana pemberontak Paris membantai ratusan kontrarevolusi yang dituduh, Majelis Legislatif digantikan oleh Konvensi Nasional, yang memproklamirkan penghapusan monarki dan pembentukan republik Prancis.

Pada tanggal 21 Januari 1793, ia mengirim Raja Louis XVI, dijatuhi hukuman mati karena pengkhianatan tingkat tinggi dan kejahatan terhadap negara, terhadap guillotine; istrinya, Marie-Antoinette, mengalami nasib yang sama sembilan bulan kemudian.

Pemerintahan Tangan Besi

Setelah eksekusi raja, perang dengan berbagai kekuatan Eropa dan perpecahan intens dalam Konvensi Nasional mengantarkan Revolusi Perancis ke fase yang paling ganas dan bergejolak.

Pada Juni 1793, kaum Jacobin menguasai Konvensi Nasional dari kaum Girondin yang lebih moderat dan melembagakan serangkaian tindakan radikal, termasuk pembentukan kalender baru dan pemberantasan Kekristenan.

Mereka juga melepaskan Pemerintahan Berdarah yang berdarah (la Terreur), periode 10 bulan di mana musuh-musuh yang dicurigai sebagai revolusi dikotori oleh ribuan orang. Banyak pembunuhan dilakukan atas perintah Robespierre, yang mendominasi Komite Keamanan Publik yang kejam sampai eksekusi sendiri pada 28 Juli 1794.

Kematiannya menandai dimulainya Reaksi Thermidorian, sebuah fase moderat di mana orang-orang Perancis memberontak melawan kekalahan Reign of Terror.
Tahukah kamu?

Lebih dari 17.000 orang secara resmi diadili dan dieksekusi selama masa Pemerintahan Teror, dan sejumlah orang yang tidak diketahui lainnya meninggal di penjara atau tanpa pengadilan.

Kebangkitan Napoleon



Pada 22 Agustus 1795, Konvensi Nasional, sebagian besar terdiri dari Girondins yang selamat dari Pemerintahan Teror, menyetujui konstitusi baru yang menciptakan legislatif bikameral pertama di Prancis.

Kekuasaan eksekutif akan berada di tangan lima anggota Direktori (Directoire) yang ditunjuk oleh parlemen. Royalis dan Jacobin memprotes rezim baru tetapi dengan cepat dibungkam oleh tentara, sekarang dipimpin oleh seorang jenderal muda dan sukses bernama Napoleon Bonaparte.

Empat tahun berkuasa di Direktori itu dipenuhi dengan krisis keuangan, ketidakpuasan populer, ketidakefisienan dan, yang paling penting, korupsi politik. Pada akhir 1790-an, para direktur hampir sepenuhnya mengandalkan militer untuk mempertahankan otoritas mereka dan telah menyerahkan sebagian besar kekuasaan mereka kepada para jenderal di lapangan.


Pada tanggal 9 November 1799, ketika frustrasi dengan kepemimpinan mereka mencapai puncaknya, Bonaparte melakukan kudeta, menghapuskan Direktori dan menunjuk dirinya sebagai “konsul pertama.” Prancis menandai berakhirnya Revolusi Perancis dan permulaan Era Napoleon, di mana Prancis akan mendominasi sebagian besar benua Eropa.

Urban Clothing

Urban Clothing
Busana Urban Sport